Abia benar-benar menghilang. Dalam sehari, gadis itu bagai ditelan bumi. Setelah kabur dari sekolah kemarin, tidak ada satu pun orang yang melihat keberadaannya.
Berita itu kontan menggemparkan SMA Nusa Bhakti. Sebab, selama ini perempuan itu jarang sekali tidak masuk sekolah tanpa kabar begini. Saat sakit pun, dia pasti mengirim surat atau mengabarkan guru BK. Beberapa orang mengira, gadis itu terlampau malu karena dicap sebagai gadis pembunuh. Tapi, banyak siswa dan guru lainnya malah merasa iba dan bersalah.
Semua orang tahu Abia seperti apa. Bagaimana baik, ramah serta patuhnya gadis itu pada teman dan guru-gurunya. Dilihat dari sisi manapun, Abia itu terlampau mustahil untuk dikatakan seorang pembunuh.
Beberapa minggu belakangan, gadis itu sudah terlalu banyak mendapatkan perlakuan dan kalimat-kalimat tak senonoh dan kasar. Guru-gurunya pun seolah tak ambil peduli dan malah kadang ikut menghakimi tanpa tahu dasar masalah sebenarnya.
Sekarang, ketika sudah beberapa hari gadis itu menghilang, penyesalan mulai terasa. Tak sepantasnya mereka berbicara sekasar itu pada Abia.
Lagipula, berita itu belum sepenuhnya benar, 'kan?
Tapi, walaupun semisal Abia memang benar melakukannya, ia juga tak sepantasnya mendapatkan perlakuan tersebut. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Dan setiap orang juga berhak mendapatkan maaf.
Arya adalah salah satu orang yang juga diam-diam merasa kehilangan atas kepergian gadis itu. Apalagi, seminggu yang lalu Arya tidak sengaja menemukan sweater rajut hitam mirip punya Abia tergeletak dengan banyak noda tanah di halte bus.
Kemana gadis itu pergi? Arya terus bertanya-tanya tapi tidak pernah mampu menyuarakan pertanyaanya pada siapapun.
Mencari gadis itu ke kontrakannya, Arya justru harus mengernyit bingung karena menemukan penghuni baru di tempat tersebut. Abia sudah tidak tinggal di kontrakan tersebut. Lalu, Arya harus mencarinya kemana?
Di mana sebenarnya gadis itu sekarang? Apa dia baik-baik saja?
***
"Guys ... Biya kemana, yaa? Kok sampai semingguan ini ngilang? Pihak sekolah juga nggak tau dia kenapa. Bahkan, Mama sama Kakaknya tutup mulut nggak mau cerita keadaannya dia." Violyn berucap cemas.
Rautnya sarat akan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Sebesar apapun kecewa yang ia miliki pada Abia, tetap saja peduli itu masih ada. Terlebih, melihat perlakuan mereka belakangan ini kepada gadis itu, malah mungkin Abia yang lebih kecewa pada mereka berempat.
"Gue juga nggak tau, Vi. Gue ngerasa bersalah banget sama dia. Kita udah jauhin dia selama ini. Padahal itu cuma kata Arya. Belum tentu bener juga kan?" Raina menimpali.
"Bener banget. Sementara kita sendiri tau Abia itu kayak gimana. Baik banget. Nggak pernah nyimpen dendem gimanapun jahatnya orang sama dia. Masak dia setega itu bunuh Ayah sendiri?" Alea ikut menyahuti.
"Gue inget, dulu cuma dia yang mau jadi temen gue waktu anak-anak pada tau kalau Ayah gue jadi Napi gegara gelapin uang perusahaan tempatnya kerja." Rindi ikut bersuara. Senyuman miris tanpa sadar terukir dari bibirnya.
"Kenapa yaa gue jadi manusia sejahat ini? Nggak tau terimakasih banget sama dia. Dulu cuma dia yang mendekat saat semua orang ngejauh. Tapi sekarang, saat semua orang ngejauhin dia, gue justru ikut-ikutan ngejatuhin dia."
Rindi sangat menyesal. Mengingat bagaimana baiknya gadis itu tidak bisa untuk tidak membuat Rindi malu pada dirinya sendiri.
Kenapa dia jadi sejahat ini?
"Kenapa kita sebego ini yaa? Baru sekarang nyadar kalau kita seenggak tau diri ini setelah banyak ditolongin sama Biya?"
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Dan keempat gadis itu saat ini tengah mengalaminya.
Mereka ... sepenuhnya menyesal telah memperlakukan sahabatnya setega itu.
Abia tidak mungkin bersalah atas kematian Bisma. Lagipula jika memang meskipun benar bersalah, punya hak apa mereka malah menghakimi gadis itu?
"Gue rasanya sangat malu sama diri gue sendiri, kemarin gue bentak Abia waktu kita kerja kelompok. Bahkan kita kayak seolah ngusir dia dari kelompok sampai dia milih buat keluar sendiri. Gue jahat banget Astaga!" ucap Rindi gusar sambil mengusap wajahnya kasar.
Dia bingung harus minta maaf dengan cara apa kepada gadis itu nanti ketika suatu saat kembali bertemu. Mengingat semua perlakuannya pada sang sahabat, mungkin bahkan mereka sudah tidak pantas disebut sahabat lagi.
"Gue denger-denger dia selama ini udah nggak tinggal sama Mama dan Abangnya, 'kan? Terus beberapa waktu lalu juga gue sempat liat dia jadi pramusaji di kafe deket sekolah. Gue nggak bisa bayangin selama ini seberat apa masalah yang Abia hadapin sendiri. Seharusnya kita dukung dia, bukan malah makin bikin dia down gini." Violyn menyahut frustasi.
Sekali lagi, di mata mereka Abia tetaplah gadis paling baik dan tulus. Tidak pernah Raina temukan gadis setangguh Abia yang meski hampir setiap hari disiksa sang Ayah tapi tetap masih bisa tersenyum dengan luar biasa cerah di sekolah.
Tidak pernah pula mereka temukan gadis sehebat Abia, yang meski kerap diberi banyak sakit dan kecewa, tapi masih mampu menyembunyikan segala perasaannya dari orang-orang terdekatnya hanya karena tidak mau membuat mereka ikut merasakan sedih yang ia derita.
Tidak pernah akan ada orang seperti gadis itu. Karena Abia adalah Abia. Pemilik senyum paling tulus dengan tawa paling gembira yang diam-diam dibanting keras oleh semesta.
****
Pagi ini, Arya memang berangkat sekolah. Tapi, pria itu memilih mengunci diri di ruang seni sendiri. Di ruangan gelap tersebut, pria itu terduduk dengan pandangan kosong.
Tidak bisa dibohongi, dia mulai merasa sakit saat menyadari Abia yang menghilang tanpa kabar dari sekolah maupun orang-orang terdekatnya. Dada cowok itu perlahan menyesak oleh perasaan bersalah yang lebih parah.
"Dia masih hidup, 'kan? Nggak mungkin dia udah mati, katanya dia yang paling kuat. Metta nggak mungkin mati," gumam pria itu menyanggah ucapannya sendiri.
"Gue emang cowok pengecut, Metta. Gue sangat pengecut. Gue bingung harus pasang tampang kayak gimana lagi kalau ketemu lo." Arya mengacak rambutnya frustasi.
Kepalanya ia hantam pada dinding di belakangnya. Mencoba membuang segala putaran kejadian yang sudah ia lewati bersama gadis itu beberapa minggu belakangan.
Lalu, ingatan yang paling menyakitkan adalah ketika isak pilu gadis itu kala demam sehabis kehujanan menggema nyaring di telinganya. Bagaimana gadis itu mengutarakan permintaan terakhirnya, juga bagaimana Abia mencengkeram pundaknya kuat seolah tidak ingin melepaskannya barang sejenak.
Kali ini, Arya juga ingin mengutarakan permintaannya pada gadis itu. Arya juga ingin memeluk Abia seerat dulu. Arya ingin melindungi gadis itu lebih banyak. Arya ingin menebus kesalahannya. Arya ingin menyayangi Abia tanpa takut ditentang Ayahnya.
Ia juga ingin menyatakan perasaan sebenarnya pada gadis itu. Bahwa sesering apapun Arya berganti perempuan, pada nyatanya Abia adalah satu-satunya orang yang mampu membuat perasaannya sekacau ini.
Entah sudah menggunakan sihir magis macam apa, Abia bahkan mampu mengacaukannya tanpa gadis itu berbuat apa-apa.
"Lo sebenernya kemana, Metta? Tolong kembali ...."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...