"Selamat pagi, Metta." Sapaan riang tersebut membuat Abia menoleh ke arah ambang pintu.Di sana, kepala Arya menyembul dari pintu yang terbuka separuh. Abia tersenyum.
"Udah gue bilang, jangan panggil gue Metta. Nama gue Abia," peringat Abia dengan wajah pura-pura kesal.
"Itu kan panggilan sayang gue buat lo, Biya." Arya menyahut sembari tersenyum manis.
Abia mendelik sebal. "Lo itu entah datang dari planet mana tiba-tiba udah panggil gue sayang aja. Kita ketemu aja baru tiga hari yang lalu." Abia menyindir.
"Jadi lo nggak suka ditemenin sama gue nih? Kalau gitu gue pulang deh, ya?" Arya pura-pura berbalik arah hendak beranjak.
"Jangan! Gue suka kok kalau ada yang nemenin." Abia mencegah.
"Bercanda, Mett. Gue nggak bakalan pergi. Gue kan juga suka kalau lo suka ada gue." Arya menaikturunkan alisnya menggoda.
"Gue nggak bilang suka ada lo. Gue bilang suka kalau ada yang temenin." Abia mengoreksi.
"Jadi secara nggak langsung lo suka ada gue lah. Kan sekarang gue yang nemenin." Arya tak mau kalah.
Abia hanya menghela kesal. Lagi-lagi, beradu argumen dengan Arya tak pernah berakhir membahagiakan. Karena pria itu selalu tahu akan menjawab apa ketika Abia menyanggah.
"Hari ini gue pokoknya harus pulang." Abia mengalihkan topik.
"Okey, kata Tante Cintya lo boleh pulang. Jadi nanti sore gue anter pulang deh."
"Sejak kapan lo panggil Tante gue Tante juga?" Abia mengernyit heran.
"Sejak gue suka sama lo," jawab Arya enteng.
"Sejak kapan lo suka sama gue?" tanya Abia lagi. Tak mempermasalahkan kalimat yang terlontar dari mulut Arya. Karena menurutnya itu hanyalah guyonan semata.
"Sejak kita ketemu pertama kali di tangga kelas 12." Arya menyahut lagi.
"Sayangnya gue nggak percaya." Abia meleletkan lidah setelahnya beralih berbaring dan memejamkan mata.
"Kenapa?" Arya bertanya lagi.
"Lo pikir aja sendiri siapa yang bisa cepet percaya sama omongan playboy cap badak kayak lo. Udah ah, gue mau istirahat." Abia memilih berbalik berbaring membelakangi Arya.
Beberapa menit kemudian, Abia sudah tertidur. Arya yang melihatnya hanya geleng-geleng.
"Pengalaman ditolak pertama gue langsung ditinggal tidur aja." Arya terkekeh geli.
"Padahal tadi itu kan gue serius."
***
"Metta ... ayok!" Arya menepuk bahu Abia yang kala itu tengah memainkan jemarinya gelisah.
"Kenapa? Lo nggak mau pulang?" tanya Arya.
"Gue ... cuma agak takut," cicit gadis itu.
"Takut kenapa, Mett?" tanya Arya memancing agar gadis itu berterus terang kepadanya.
"Nggak ada." Setelahnya, Abia berjalan mendahului Arya keluar ruangan.
Arya hanya tersenyum tipis. Tidak mungkin Abia bisa secepat itu terbuka padanya di saat dengan Cintya saja ia masih mampu menyembunyikan masalah besar.
"Kata Tante Cintya, kalau lo belum mau pulang ke rumah, lo boleh nginep di rumah dia. Gue tau alamatnya. Mau gue anter?" Arya menawarkan sembari menyusul gadis itu secepat yang ia bisa.
Abia menggeleng.
Di sepanjang perjalanan pulang menggunakan mobil Arya, Abia lebih banyak diam. Biasanya gadis itu akan menyahuti setiap kalimat receh dan nyeleneh yang Arya ucapkan. Tapi kali ini tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...