Benar-benar Sendirian

2.9K 214 1
                                    

"Biyaaa! Lo harus liat ini!"

Teriakan cempreng Violyn dari arah ambang pintu membuat Abia yang sedari tadi menelungkupkan kepalanya pada lipatan lengan menoleh. Di tempatnya, Violyn tampak tergesa berlari ke arah Abia sembari menenteng handphone-nya.

"Apa, Vi?" tanya Abia tidak bersemangat.

"Liat ini! Liat! Si Arya pajang foto mesra di IG-nya. Bareng cewek lain, lagi. Waah ... nggak beres nih anak! Padahal dia belakangan ini deket sama lo 'kan, yaa?"

Abia yang biasanya tak terlalu peduli akan informasi kurang penting Violyn kini malah melongok hendak melihat. Lalu, begitu Abia menemukan foto Arya dengan sesosok gadis berambut sebahu serta poni rata yang Abia yakini adalah adik kelasnya, gadis itu termangu.

Tidak mungkin 'kan Arya mempermainkannya juga seperti gadis-gadis lainnya?

"Tuh 'kan, Bi. Apa gue bilang! Si playboy satu itu enggak bakal pernah tobat. Sekarang aja udah gandeng yang baru setelah baperin anak orang." Violyn mengompori. Terlihat begitu tak suka walau hanya sekedar menyebut nama pria itu.

"Arya kayaknya enggak mungkin gitu. Keliatannya, dia serius sama Biya. Cara dia perlakuin Biya beda sama korban baper dia lainnya." Ini Raina yang berkomentar.

Alea yang sedari tadi membaca novel kali ini ikut menyahut. "Tapi nggak nutup kemungkinan juga kalau Arya emang enggak serius sama Abia. Apalagi ngeliat dari gimana kelakuan itu cowok sebelumnya."

Abia pusing luar biasa. Sahutan-sahutan dengan pendapat berbeda keempat sahabatnya berhasil membuat Abia bingung.

Di satu sisi dia tidak ingin percaya. Tapi, di sisi lain, sikap pria itu belakangan serta foto tadi seolah menyatakan kebenarannya. Bahwa Arya juga tidak pernah serius pada Abia. Bahwa Abia diperlakukan sama saja dengan gadis-gadis yang dimainkan Arya lainnya.

Mengabaikan segala fakta yang berkecamuk dalam tempurung kepala, Abia justru merasakan perutnya berbunyi. Dia sangat lapar. Tadi pagi gadis  itu belum sempat sarapan. Lebih tepatnya tidak mau ikut sarapan ketimbang kenyang dihadiahi cibiran.

"Mending temenin gue ke kantin. Gue laper." Abia memutuskan berikutnya menarik lengan siapa saja yang dekat dengannya keluar kelas.

Kepalanya tidak cukup niat memikirkan banyak hal setelah beberapa hal yang terjadi belakangan ini. Abia jengah sekali.

***

Suasana kantin rupanya bukan solusi bagi Abia. Ruangan dengan jejeran bangku dan meja yang dipenuhi oleh para siswa yang tengah makan siang itu justru malah membuat Abia mual entah kenapa.

Mungkin karena efek kurang enak badannya pula.

"Biya! Itu si Arya, dia lagi duduk sama pacar barunya." Violyn menunjuk kelewat semangat pada meja di bagian tengah.

Abia menoleh ke arah yang ditunjukkan Violyn. Lalu, begitu ia menemukan Arya tengah tertawa bersama sesosok gadis manis di sampingnya sembari menyantap makanan, Abia mengerjap tak percaya.

Arya benar-benar mempermainkannya, ya?

Tanpa mempedulikan teriakan sahabat-sahabatnya yang sudah memanggil nyaring, Abia berjalan mendekat dan duduk di depan kedua remaja yang terlihat terlibat mengobrol asyik itu.

"Hai." Seolah tak mengetahui apapun, Abia menyapa sembari tersenyum manis.

Arya yang saat itu menyadari kehadirannya, terlihat mendelik tajam. Sorotnya berubah setajam elang. Terlihat begitu asing di mata Abia. Sama seperti kala keduanya bertemu di tangga sehabis Abia mencuci wajah kemarin.

"Ngapain? Ganggu orang pacaran aja." Kalimat bernada sarkastik itu keluar begitu mudahnya dari mulut Arya.

Abia menatap pria itu tak percaya. Dalam sehari, Arya berubah menjadi sosok yang tak dikenalinya. Ada apa? Apa Abia telah melakukan kesalahan, ya?

"Lo kenapa, Ar? Marah sama gue? Kok lo jadi berubah gini?" Abia bertanya tak mengerti.

"Seharusnya lo sadar, pembunuh itu 'kan emang perlu dijauhin." Kalimat nyaring yang keluar dari mulut Arya membuat Abia mendelik.

Beberapa penghuni kantin terlihat menyorot keduanya penasaran. Tapi, Abia tak peduli. Lebih peduli pada kalimat nyaring Arya yang berhasil memancing kemarahannya.

"Gue bukan pembunuh!" Sorot Abia berubah menajam. Tidak terima dikatai begitu oleh pria yang bahkan baru dikenalnya beberapa waktu lalu.

Arya menyeringai lebar.

"Masih nggak mau ngaku juga? Padahal bukti udah sangat jelas. Tinggal nunggu persetujuan kakak dan Mama lo aja kayaknya lo udah ada di balik jeruji besi sekarang." Ucapan bernada merendahkan itu membuat mata Abia memanas.

Arya juga mengiranya demikian. Arya sama saja dengan Mama dan Kaisar. Mereka juga tidak mempercayai Abia. Mereka tidak pernah punya sedikit pun kepercayaan padanya.

"Gue enggak nyangka, cuma karena nggak setuju dengan aturan yang dibuat ayah lo, lo tega bunuh ayah sendiri. Seharusnya sebenci apapun lo sama peraturan dan didikan keras dia, lo nggak harus sebejat itu," sinis Arya.

Lagi, Arya menggores luka baru pada luka Abia yang telah lama menganga.  Memandang satu persatu sahabatnya yang berada di sampingnya, lagi-lagi berhasil membuat Abia kehilangan percaya akan dirinya sendiri. Mereka juga tidak akan mau mempercayainya, ya?

"Kenapa? Malu dibilang pembunuh? Emang bener 'kan?" tantang Arya semakin menyudutkan Abia.

Sungguh, Abia benci kalimat itu. Abia benci dengan segala bentuk kalimat yang menyudutkannya akhir-akhir ini.

Mengabaikan tatapan tak percaya orang-orang di sekitarnya, Abia menyisir keramaian. Berlari menjauh dari situasi menyesakkan yang sekali lagi membuatnya kehilangan percaya akan segala yang sebelumnya sempat gadis itu genggam.

Abia ... kehilangan harapan.

Setelah mamanya, Kakaknya, jangan pula Arya serta sahabatnya juga tak mempercayainya dan perlahan berjalan menjauhinya.

Siapa yang masih mau berteman dengan gadis bejat sepertinya? Siapa yang masih mau dekat dengan gadis pembunuh sepertinya? Siapa yang mau mengenal gadis terburuk seperti Abia?

Begitu sampai di lorong sepi di ujung koridor kelas 11, Abia meluruh. Kehilangan tumpuan atas tubuhnya sendiri.

Menahan sekuat tenaga isak yang dengan kurang ajarnya perlahan menggema di ruang sunyi itu. Ini sendiri paling menyakitan yang Abia pernah jumpai.

Dimana tidak ada satupun orang yang mempercayainya. Dimana tidak ada satupun orang yang menganggapnya ada. Dimana satu persatu orang perlahan berjalan menjauhinya. Meninggalkannya bersama luka yang Abia telan sendirian.

Abia ... benar-benar sendirian.

Masuk ke toilet putri, gadis itu berjongkok di lantai lembab itu lagi. Memecahkan tangisnya yang mati-matian ditahannya tadi. Bahkan, saking sesaknya, ia memukul dadanya sendiri.

Dosa macam apa yang sudah dilakukannya hingga diperlakukan setidak adil ini? Abia sudah menyakiti siapa saja? Sebesar apa kesalahannya hingga Tuhan menghukumnya begini?

"Biya bukan pembunuh! Biya nggak pernah bunuh Ayah! Biya beneran nggak sengaja! Biya nggak mungkin tega bunuh Ayah Biya sendiri! Kenapa nggak ada yang mau percaya?!" teriak Abia frustasi.

Menutup erat telinganya, mencoba menghalau suara-suara tuduhan yang menggema di sana tanpa diminta. Abia benci suara-suara itu, sungguh.

"Siapapun ... tolong bangunin Biya dari mimpi buruk ini. Mama ... Biya nggak ngelakuin kesalahan, tolong percaya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ABIA  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang