Ingin Didengarkan

3.4K 223 0
                                        

Abia berdiri termenung di pekarangan kontrakan sempitnya. Matanya memandangi rumah bercat putih polos itu dengan senyum getir.

Rumahnya bahkan kelihatan sangat muram. Seperti perasaannya, seperti perasaan sakitnya yang kian hari kian menggelap saja.

Memandangi tempat itu, kepalanya kembali memutar ingatan tentang hari demi hari yang sudah dilewatinya sendiri. Bagaimana kerasnya usaha Abia untuk bertahan hidup, juga bagaimana gadis itu mencoba berlapang dada menghadapi perlakuan orang-orang tersayangnya.

"Padahal Biya sangat sayang sama kalian, tapi kenapa malah kalian yang jadi penyebab utama Biya ngerasa males hidup sekarang?" gumam gadis itu sedih.

Salah apa Abia pada mereka? Padahal gadis itu hanya disangka membunuh sang Ayah. Lalu, kenapa semua orang membencinya sebesar ini?

Kenapa mereka tidak pernah mau mendengarkan penjelasan Abia? Apa seburuk itu dia sampai minta dipercayai barang sedikit saja tidak bisa?

Masuk rumah dan mengunci pintu dari dalam, Abia meluruhkan tubuhnya di ambang pintu. Kakinya terasa lumpuh bahkan untuk sekedar berjalan ke kamarnya. Perasaannya dibuat hancur oleh segala makian juga bentuk penolakan dari sahabat-sahabatnya termasuk Arya.

Di saat Abia begitu membutuhkan mereka guna mengurangi sakit hatinya atas perlakuan sang Abang dan Mama, kenapa mereka malah membuat perasaan Abia tak kalah hancur dari perlakuan mereka? Apa Abia memang seharusnya diposisikan serendah ini, ya?

Cukup lama menangis, gadis itu harus menyeret langkah guna membuka pintu karena mendengar gedoran keras dari arah luar. Begitu membuka, pemilik kontrakan sudah berdiri di sana dengan raut wajah murka.

"Mana, Abia? Kesepakatan kita kamu bakal lunasin kemarin tapi sampai hari ini nggak ada!" sergah sang pemilik kontrakan tanpa basa basi.

Abia menghela napas berat. Menghapus jejak air mata di pipi berikutnya memandang wanita di depannya dengan raut datar.

"Yasudah, maaf. Saya belum dapat uang, soalnya saya beberapa hari lalu baru dipecat dari pekerjaan saya. Maaf, Bu. Saya hari ini langsung pergi dari sini, kok. Untuk sisa biaya sewa yang belum saya lunasi, Insya Allah saya akan lunasi kalau saya sudah punya uang. Saya pamit dulu, Bu." Gadis itu memberikan kunci kontrakan pada sang pemiliknya.

Abia berucap panjang lebar berikutnya melangkah menjauh dan keluar dari kontrakan tersebut. Sekarang, dia sudah benar-benar tidak mempunyai apapun.

Bahkan, dia bingung harus melangkah ke mana sekarang. Berjalan tak tentu arah di sisi trotoar tepi jalan, kaki Abia tanpa sadar membawa gadis itu ke TPU (Tempat Pemakaman Umum).

Melangkah di antara jejeran makam di sana sendirian, Abia berhenti pada sebuah makam yang terlihat masih basah. Tanpa dapat dicegah, mata gadis itu kembali memanas. Pandangannya bahkan memburam oleh genangan air mata di pelupuknya.

Makam Bisma; Ayahnya.

"Ayah ...." Untuk waktu yang lumayan lama, Abia cuma berhasil mengucapkan kalimat itu.

Dadanya sesak luar biasa. Di hadapan sang Ayah, Abia memang selalu selemah dan sepayah ini.

"Maaf ... maaf ... maaf," gumam Abia tanpa henti sambil memeluk nisan di hadapannya.

Tidak dipedulikannya baju putih abu-abunya bakal kotor atau balutan sweater rajut hitamnya bakal terkena tanah. Abia sangat ingin Ayahnya mendengarkannya. Abia hanya ingin pria itu menyayanginya sebesar ia menyayangi Kaisar.

Tapi, sebelum sempat didengarkan, Abia malah membunuh Ayahnya sendiri. Sebelum sempat diberikan kasih sayang yang sepadan, Abia lebih dulu membuat orang-orang di sekitarnya membenci sebesar ini.

"Biya sudah bingung mau nyanggah kalimat mereka kayak gimana lagi, Yah. Mungkin emang bener 'kan? Biya ini emang pembunuh. Kalau aja hari itu enggak minta didengerin, kalau aja waktu itu Biya emang nggak pernah ngelawan kayak hari biasanya, mungkin Ayah masih ada."

"Salah ya, Yah, kalau Biya ngerasa diperlakukan nggak adil sama kalian semua? Salah nggak kalau sekarang Biya mulai lelah dan udah nggak mau lagi ketemu siapapun? Tolong jelasin sama Biya bagian salahnya dimana?" tanya gadis itu sambil terisak pilu.

Dia sudah tidak tahu lagi harus menyikapi segala sesuatu yang menimpanya dengan cara apa. Abia sudah kehabisan cara serta sabar menghadapi semua. Dia mulai membenci semuanya, termasuk dirinya sendiri.

Abia ingin menuntut keadilan tapi tidak tahu kepada siapa. Gadis itu ingin mengadu tentang segala rasa sakitnya tapi tidak ada satupun orang yang mau mendengarnya. Ia ingin mencintai, juga dicintai siapapun tanpa tapi. Dia juga ingin merasakan seberapa manis rasanya disayangi seseorang yang juga disayanginya seperti waktu lalu.

"Biya harus gimana, Ayah? Apa cambukan, tendangan, makian sama perlakuan buruk ini belum cukup bikin semua orang puas nyakitin Biya? Apa mereka mau liat Biya mati aja baru mereka ngerasa puas?"

Merasa tenggorokannya mulai tercekat, Abia memilih berhenti berbicara. Karena lapar dan haus, gadis itu bahkan merasa sudah tidak mempunyai tenaga untuk berdiri.

Segala persendiannya terasa mati fungsi. Kepalanya yang dihujam nyeri lagi dan lagi serta perut yang melilit sakit membuat Abia tidak mampu bergerak barang seinci.

Hidup ... apa memang selalu semelelahkan ini, ya? Abia jadi bingung harus menafsirkan perasaanya dengan cara apa. Segala sesuatunya terasa salah. Padahal, yang diperlukan gadis itu hanya dibiarkan menyerah dan kalah.

Sibuk dengan pikirannya sendiri, tanpa sadar hujan perlahan turun. Abia yang sedari tadi masih duduk di samping makam Ayahnya, memilih bangkit berdiri.

Dia harus berteduh. Setidaknya, dia harus mencari rumah lain lagi. Bukan untuk menetap, tapi singgah sejenak untuk menghabiskan sisa hidupnya yang sepertinya sebentar lagi bakal tamat.

Abia ingin mengakhiri semuanya; kasih sayang Mama dan Abangnya, kehangatan dari obrolan ringan para sahabatnya, ataupun cinta yang masih ia simpan rapi untuk Arya. Abia juga rasanya ingin sekali mengakhiri hidupnya kalau saja Tuhan membolehkan ia melakukan hal semacam bunuh diri.

Berjalan keluar dari area makam, Abia kembali berjalan tak tentu arah di sisi trotoar. Hujan masih mengguyur kota dengan deras. Bising suaranya yang bertabrakan dengan aspal jalan bahkan terasa sunyi di telinga Abia.

"Dunia dipenuhi dengan hal-hal melelahkan, ya." Gadis itu bergumam lagi sambil terkekeh geli.

Kali ini, dia memilih duduk di halte Bis. Melepas sweater rajut hitamnya dan meletakkan sembarangan di bangku besi halte, Abia tersenyum miris.

Salahnya terlalu berharap banyak pada manusia meski itu adalah Mamanya sekalipun. Salahnya yang terlahir sebagai gadis bodoh dengan nama Abia Felicia Almetta. Salahnya mencintai pria playboy seperti Arya. Salahnya juga karena sejak awal tidak pernah mampu menyaingi apa-apa yang bisa dilakukan Abangnya.

Salahnya karena sekarang malah jadi gadis seburuk dan semenjijikkan ini hingga semua orang perlahan berjalan menjauhinya. Muak dengan kepalanya yang terus memutar berbagai kenangan menyakitkan, Abia memilih kembali berjalan.

Tidak peduli hujan masih deras-derasnya, terserah meski kakinya bahkan terasa berat untuk melangkah barang selangkah. Yang jelas, Abia ingin pergi dari sini secepatnya. Kali ini, Abia ingin didengarkan.

Untuk terakhir kalinya, Abia benar-benar ingin didengarkan.

ABIA  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang