Abia tidak tahu di mana dia saat ini. Setiap penjuru yang dapat dipandangnya hanya pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Tak ada tanda-tanda adanya seseorang yang bisa gadis itu mintai bantuan.
Langit sudah menggelap. Suara jangkrik dan hewan nokturnal mulai saling bersahutan. Membuat suasana terasa mencekam dan semakin kelam.
Abia mulai ketakutan.
"Gue di mana sih ini? Perasaan daritadi gue muter-muter di sini aja." Abia bertanya lirih.
Selain karena ketakutan, tenaganya juga sudah banyak terkuras habis karena kelelahan. Belum lagi udara puncak yang dingin, semakin membuat tubuh Abia gemetar kedinginan.
"Masak iya gue nyasar? Terus gue mau balik lewat mana coba? Mana udah malem lagi."
Abia merutuki kebodohannya yang dengan nekad masuk hutan tanpa ditemani satu pun teman. Sekarang, dia harus bagaimana?
Dari sore tadi berjalan melewati jalan yang sama, selain kesal, tentu saja ia merasa kelelahan pula. Terlebih lagi dengan suasana pekat hutan, yang tentu saja berhasil membuat Abia panik dan kebingungan.
Sekarang, dia harus bagaimana? Tidak ada orang di sini. Dan ketakutan mulai mendominasi.
"RAINA! ALEA! kalian dimana?" Abia memanggil lirih di akhir kalimatnya. Wajahnya pias. Sudah hampir menangis.
Rasanya ... lebih menakutkan daripada ketika Ayahnya mengurungnya di gudang. Setidaknya di sana, Mamanya tidak akan membiarkannya sampai mati dipukul Ayah. Sedangkan di sini, dia sendirian.
"Mama, Biya harus gimana?" gumamnya lirih sambil mulai menangis.
Bagaimana kalau dia terlantar dan terjebak di sini selamanya? Bagaimana pula jika tiba-tiba saja ada hewan buas yang menerkam?
Berbagai pikiran buruk yang bahkan kadang tidak masuk di akal mulai bercokol di kepala Ahia. hidungnya bahkan mulai memerah karena menangis.
Dengan bibir gemetar kedinginan serta sisa tenaga yang ia punya, Abia memilih berjalan. Daripada mati konyol di sini, Abia masih ingin berusaha menemukan jalan pulang semampunya.
Na'as, nasib buruk memang sedang berlomba-lomba mengiringi harinya. Karena gelap, Abia tidak sadar kakinya menabrak batu cukup besar yang tajam. Tentu saja ia tersandung hingga membuatnya tersungkur dengan tidak elegan.
"Aisshh .... " Abia meringis.
Kakinya terasa perih dan berdenyut nyeri. Belum lagi kepalanya yang tadi juga sempat terbentur batu besar di depannya, membuat darah tanpa sadar mengalir dari ujung keningnya.
Abia kelimpungan. Apalagi ketika menyadari pandangannya mulai berkunang-kunang dan buram.
Tidak! Ia tidak boleh kehilangan kesadaran!
Ia harus menemukan jalan menuju area camping terlebih dahulu untuk bisa bernapas lega. Dengan berpegangan pada pohon pinus di sampingnya, Abia berdiri.
Menyebalkannya, tubuh Abia malah oleng karena pusing yang tiba-tiba menghinggapi kepala. Abia hampir kehilangan keseimbangannya kalau saja tidak berpegangan pada lengan kekar seseorang yang tiba-tiba saja sudah menahan tubuhnya dari belakang.
Abia mendongak.
"Arya." Napas gadis itu terdengar tak beraturan.
Sudah dipastikan penyakitnya kambuh pada saat-saat yang tidak menguntungkan.
"Lo nggak pa-pa, Metta?" Sorot mata Arya terlihat memancar cemas.
Tatapannya lurus menatap manik mata Abia yang terlihat kebingungan. Melihat itu, tanpa banyak kata, Arya memapah Abia menuju batang kayu besar yang tumbang di dekat pohon pinus.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Novela Juvenil"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...