Abia berjalan gontai memasuki rumah besarnya. Mengingat rentetan kejadian hari ini tidak bisa untuk tidak membuatnya menghela napas berat untuk kesekian kalinya.
Sahabat-sahabatnya memang tidak menunjukkan ketidakpercayaannya pada Abia, tapi dengan mendiamkannya dan berpindah duduk ke tempat lain sudah cukup menjadi bukti kalau mereka memang merasa demikian.
Hari ini, Abia pulang dengan menggunakan angkot. Kaisar tidak menjemputnya seperti biasa. Dan Abia, memilih tak peduli.
Ia terlampau mati rasa. Dalam beberapa saat, perasaannya dihancurkan. Bahkan hidupnya pun kehilangan tujuan.
Abia merasa sudah tidak butuh kasih sayang. Abia hanya perlu bertahan sampai sejauh apapun kakinya mampu berjalan. Menjejaki satu persatu luka yang orang-orang terdekatnya beri dengan sebegitu baiknya.
"Kamu sudah pulang?" Suara bernada dingin itu membuat Abia mendongakkan kepala.
Mamanya, dari lantai atas terlihat memandangnya enggan. Abia hanya tersenyum miris. Abia sudah bilang kan, hatinya sudah terlalu kebal dengan tatapan ataupun hujatan merendahkan.
Tapi,
"Kalau gitu cepet makan siang dan selesaikan kerjaan kamu tadi pagi. Setelah ini kamu juga harus ngepel lantai. Sekali-kali, bantu Bi Sumi dengan ngerjain semua tugasnya dia."
"Biya nggak laper, Ma." Abia menjawab datar.
"Yaudah. Terserah kamu. Tapi kalau kamu kenapa-kenapa, jangan salahin saya." Begitu kalimat bernada acuh itu terlontar, Monica berjalan menjauh.
Meninggalkan Abia bersama kepingan harapnya yang berserakan. Padahal, gadis itu berharap sang Mama akan memaksanya makan. Sama seperti ketika Abia tidak ingin makan setelah dihukum Ayah dulu.
Jika sedang ingin, bahkan tak jarang Abia juga disuapi Monica. Jujur, sekarang Abia rindu hal itu. Kalimat menenangkannya, suara lembutnya, nada khawatir kala itu, atau sekedar senyuman meneduhkan yang mampu membuat sakit-sakit di sekujur tubuh sehabis dicambuk Ayah kehilangan rasanya.
Kapan Monica bakal memaafkannya? Kapan perempuan itu akan peduli padanya seperti dulu lagi? Abia tidak suka ketika wanita yang bergelar Mamanya tersebut terlihat asing di matanya. Dia tidak ingin wanita itu menjauhinya seperti sekarang.
***
"Ma ... Kai pulang!"
Teriakan dari ambang pintu utama membuat Abia menoleh pada kakaknya yang baru pulang dari sekolah. Begitu menyadari kehadiran Abia, Kaisar mendelik tak suka.
Baru saja akan menaiki anak tangga rumahnya, suara Abia menginterupsi. "Tadi kenapa nggak jemput Biya pas pulang sekolah, Bang?" Abia mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Nggak ada waktu buat jemput pembunuh," sahut Kaisar sinis.
Abia memejamkan mata pelan. Mencoba mengontrol gelegak amarah dalam dadanya begitu kata terakhir itu diucapkan. Abia merasa bisa-bisa mentalnya bakal rusak jika terus-terusan dituduh begini.
Gadis itu hanya mampu memandang kakaknya yang sudah berlalu dan menutup pintu kamar keras. Tak sadar Kaisar di dalamnya sudah tersaruk pelan.
Merutuki ketidak berdayaannya menyikapi situasi pelik ini. Firasatnya mengatakan Adiknya tidak mungkin menjadi penyebab kematian Ayahnya. Tapi, berdasarkan apa yang pria itu tangkap dan lihat, Abia jelas bersalah.
Gadis itu jelas mendorong Ayahnya hingga terjatuh dari anak tangga.
Dengan kepala luar biasa frustasi, Kaisar menggusah kesal. Mengacak rambutnya dengan geraman tertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...