Abia memandangi sekeliling rumah yang kini akan menjadi tempat tinggalnya. Sejenak, gadis itu tersenyum lega. Setidaknya dia masih mempunyai sisa tabungan guna menyewa kontrakan kecil yang bagi Abia lebih dari cukup untuk ditempatinya sendiri.
Setelah pergi dari rumah, Abia basah kuyup karena di jalan malah hujan deras. Berteduh di sebuah ruko tepi jalan, seorang wanita menghampirinya dan bertanya.
Lalu, mengetahui gadis itu yang tidak memiliki rumah, ia menawarkan Abia untuk menyewa kontrakan dengan harga lumayan murah. Katanya mumpung banyak kontrakan yang tidak terhuni.
Abia tentu saja meng-iyakan cepat. Akhirnya, sekarang dia berada di sini. Di kontrakan yang rupanya tidak cukup jauh dari rumah sang Mama dan Abangnya.
Mengingat mereka, Abia menelan ludah kasar. Perasaan kecewa dan sakit hati akibat perkataan sang Mama dan Abangnya masih menguar pekat. Membuat gadis yang belum mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu, bahkan merasakan sesak hanya dengan mengingat nama kedua orang yang masih sangat disayanginya tersebut.
Mencoba mengalihkan pikiran dari segala macam ingatan tak mengenakkan, Abia beralih ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri setelahnya membersihkan kontrakan yang kini bakal jadi tempat Abia menghabiskan sisa-sisa lelah setelah menghadapi banyak masalah.
"Enggak papa, Biya. Sendiri pun nggak masalah, memangnya kamu selemah apa sampai tinggal sendiri aja nggak bisa?" Abia bermonolog berikutnya masuk ke dalam kamar mandi sempit yang sangat jauh berbeda dengan kamar mandinya di rumah sang Mama.
Rupanya, kalimat menguatkan yang ia ucapkan untuk dirinya sendiri tadi, tidak membantu banyak. Begitu masuk ke kamar mandi, tubuh Abia justru tersungkur di lantai lembab itu.
Bahkan tubuhnya sendiri tidak mampu berbohong kalau saat ini gadis itu begitu terluka. Isakan nyaring yang lolos setelahnya justru disusul tangis pilu yang lainnya.
Abia memeluk lututnya sendiri. Menenggelamkan kepala di balik lipatan tangan dengan bahu terguncang oleh tangis yang kian sesenggukan. Ternyata dia salah. Dia begitu cengeng dan lemah. Bahkan menahan diri untuk tidak menangis saja dia tidak bisa.
"Padahal aku udah berusaha banyak, padahal aku nggak lemah, tapi kenapa sekarang aku masih nangis? Kenapa di sini masih sakit?" teriak Abia parau sembari menepuk dadanya sendiri yang kembali diserang hantaman nyeri.
"Jangan cengeng gini, Biya. Tolong! Lagipula kalau kamu nangis, siapa yang bakal peduli? Siapa yang mau dengar? Siapa yang mau ngerti? Kamu sakit atau mati pun bukan urusan mereka. Tolong sadar diri, kamu cuma pembunuh, Biya. Enggak lebih."
Puas memaki diri sendiri, gadis itu akhirnya kembali bangkit berdiri. Memilih segera mandi dan berganti pakaian. Besok ia harus sekolah. Berarti malam ini ia harus memforsir tenaga untuk membersihkan kontrakan, juga memforsir mental untuk kembali ke rumah Monica guna mengambil seragam serta beberapa baju-baju dan barang-barang pribadinya.
Selesai mandi, Abia beralih ke kamar. Gadis itu segera berganti pakaian berikutnya membersihkan segala penjuru rumah hingga jam 11 malam. Begitu selesai, Abia memilih duduk di ruang tengah. Menyeduh kopi berikutnya menyeret bangku kayu ke dekat jendela.
Gadis yang kali ini mengenakan dress selutut serta sweater rajut itu, duduk di dekat jendela sembari memangku kopi. Di luar hujan masih begitu deras. Kalau Abia mengambil seragamnya ke rumah jam segini, apa Mama atau Bang Kaisar masih bangun, ya?
Abia tersenyum lagi begitu mengingat bagaimana tadi Kaisar mengusirnya. Abangnya ... apa sekarang sedang mengkhawatirkannya, ya? Apa dia setidaknya bertanya pada dirinya sendiri tentang bagaimana keadaannya di luar sana di malam dengan hujan deras begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...