Demam

3K 191 0
                                    

"Ayo, gue anter pulang!"

Abia mendongak begitu mendengar suara seseorang yang sudah sangat dihapalnya tersebut. Seseorang yang dalam waktu singkat sudah banyak membuatnya bangkit dan mampu melewati hari-hari terpuruknya. Seseorang yang juga dalam waktu singkat menghancurkan perasaannya.

Sekarang, kenapa cowok itu malah berdiri di depannya lagi? Mengulurkan tangan seolah tidak ada hal yang pernah terjadi. Dia mau apa sebenarnya?

"Ayo bangun, Bego! Lo bisa sakit kalau hujan-hujanan gini kayak orang gila aja," omel cowok itu--Arya, sambil meraih tangan Abia paksa dan menariknya berdiri.

Abia tidak merespon banyak. Hanya pasrah saja ketika digiring dan disuruh naik ke atas jok motor. Arya yang melihat gurat lelah di wajah gadis manis itu, tanpa sadar menghela berat.

"Pegangan, jangan sampai jatuh!" perintah Arya yang rupanya juga tidak ditanggapi Abia.

Dengan gemas, akhirnya Arya memilih menarik tangan gadis itu dan melingkarkannya pada pinggangnya. Abia kontan menyandarkan kepala pada punggung tegap cowok itu.

Begitu dirasa sudah siap, Arya segera melajukan motornya cepat. Takut jika terlalu lama berada di bawah hujan larut malam begini, kondisi gadis yang ada di boncengannya kala ini malah memburuk.

Tidak ada percakapan antara keduanya selain Arya yang menanyakan dimana jalan menuju kontrakan gadis itu. Begitu sampai di sana, Arya segera menyuruh Abia turun.

"Setelah ini langsung masuk, terus ganti baju dan mandi biar nggak demam apalagi masuk angin!" titah Arya tegas yang tidak dibalas Abia sama sekali.

"Lo denger nggak sih?!" tanya Arya kesal karena merasa dicueki.

"Iya."

"Yaudah, gue pulang dulu. Lo nggak papa, 'kan?"

"Iya."

Mendengar jawaban gadis itu, Arya akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Tapi, baru saja menyalakan motornya, tubuh Abia yang merosot jatuh begitu tengah hendak membuka pintu membuat Arya mengurungkan niatnya untuk pulang.

Seharusnya dia cukup tahu. Abia tidak pernah baik-baik saja.

****

Arya memandangi wajah lelap Abia dalam diam. Melihat bagaimana bahkan di tidurnya raut gadis itu masih menyiratkan lelah, tidak bisa untuk tidak membuat dada Arya kembali menyesak oleh rasa bersalah.

Menyadari Abia yang rupanya tidak cukup sehat sehabis terkena hujan, Arya memilih untuk menginap saja. Khawatir sekali dengan keadaan gadis itu yang sendirian di kontrakan dalam keadaan sakit.

Jika bukan Arya, siapa yang bakal merawatnya?

Arya mengusap pelan pipi tirus Abia yang terlihat semakin tirus sejak terakhir keduanya bertemu. Selama tinggal sendiri, apa gadis itu makan dengan teratur ya? Seberapa lelah rasanya harus bekerja sepulang sekolah? Sejauh apa sakitnya harus menahan beban fisik serta mental setelah kejadian Arya mempermalukan gadis itu di kantin kala itu?

"Bahkan sebenernya gue malu buat natap wajah lo, Metta. Saking malunya, maaf bahkan nggak cukup buat nebus kesalahan yang udah gue buat ke elo." Arya menggumam lirih.

"Jangan serapuh ini, tolong. Gue percaya lo yang paling kuat. Tolong buktiin kalimat itu, Metta." Arya mengusap puncak kepala gadis itu lembut berikutnya kembali mengompresnya.

Suhu tubuh Abia sejak tadi panas sekali. Saking panasnya, seolah Arya mampu merasakan bara api menyala di kening gadis itu.

Sibuk mengompresi Abia, Arya akhirnya mengantuk. Melirik jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 1 malam tepat, Arya menyelesaikan kegiatannya dan memilih berbaring di sofa.

Dia harus tidur. Biar besok bisa bangun pagi dan mengurus gadis itu lagi. Suhu tubuh Abia tidak turun meski Arya mengompresnya dari hujan masih deras sampai berhenti.

"Have a nice dream, Metta. Semoga lekas sembuh, ya!" Arya mengusap puncak kepala Abia sekali lagi berikutnya berbaring di sofa dan terlelap tidak butuh waktu lama.

****

Padahal, Arya baru tidur beberapa jam. Tapi, cowok itu malah terbangun pukul 3 malam karena terganggu oleh suara isakan samar.

Begitu tersadar dan melirik pada gadis yang terbaring di ranjang kecil di depannya, Arya kontan bergerak panik dan segera mendekat. Cowok itu mengernyit bingung waktu menyadari Abia memang terisak dan menangis, tapi matanya tetap tertutup.

"Metta ... kenapa?" tanya Arya tidak tega mendengar isak pilu gadis itu.

Abia kontan terbangun. Matanya menyorot Arya nyalang. Tidak tahu harus menjelaskan perasaannya dengan kalimat macam apa.

"Lo kenapa? Ada yang sakit? Mau gue panggilin Dokter?" tanya Arya beruntun. Tidak mampu menyembunyikan nada paniknya.

Abia tidak menjawab. Tapi, beberapa detik kemudian memilih bangkit duduk dan memandang kosong ke bawah. Arya yang melihat itu hanya menunggu Abia bersuara dengan luar biasa sabar.

"Mau apa, hm?" tanya Arya kali ini dengan nada suara sangat lembut dan hangat.

"Arya." Akhirnya, Abia bersuara. Meski hanya memanggil namanya.

"Iya, Metta. Kenapa?" Abia memandang tepat pada bola mata cowok itu.

"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir, gue nggak akan minta apapun lagi kok." Abia meminta dengan wajah memohon.

Arya terdiam. Kaget dengan permintaan Abia yang jauh dari perkiraannya.

"Enggak mau, ya? Yaudah enggak papa, maaf sudah--"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sebuah tangan kekar menariknya ke dalam dekapan dengan erat. Saking eratnya, napas Abia sampai menyesak saking senangnya.

"Kenapa minta maaf? Tentu aja boleh, Metta." Arya mengelus pundak Abia lembut.

Diperlakukan begitu, akhirnya Abia tidak mampu menyembunyikan perasaannya lagi. Kontan, tangisnya pecah di dada bidang pria itu keras. Saking kencangnya menangis, bahu gadis itu sampai bergetar hebat.

"Gue capek, Arya. Gue capek. Gue sangat capek. Tolong ... tolong selametin perasaan gue dari segala hal memuakkan ini," isak gadis itu semakin pilu.

Abia meremas baju Arya di sela pelukan mereka. Mencoba mencari pertahanan agar dia tidak segera ambruk dan runtuh seperti biasanya. Saking kuatnya menarik kaus cowok itu, Abia takut kainnya bakal robek.

Karena Abia tahu, dia tidak akan bisa menarik Arya sekeras saat ini. Tidak besok. Tidak juga di hari-hari lainnya. Setelah malam ini, mungkin Arya akan kembali asing. Menganggap Abia tidak pernah ada. Menganggap perasaannya hanya lelucon yang bisa jadi bahan melucu kapan saja.

Terlalu lelah menangis, akhirnya Abia kembali terlelap di dalam dekapan Arya. Tapi, jemari mungil Abia masih menggenggam erat kaus yang dikenakan cowok itu. Membuat Arya mau tak mau membiarkan saja gadis itu tertidur di dada bidangnya.

Sejujurnya, Arya juga sakit ketika melihat Abia harus seterluka ini. Arya juga sakit karena tidak bisa mendampingi Abia di saat-saat tersulitnya. Arya juga ikut sakit jika menyadari bahwa cowok itu tidak mampu melakukan apa-apa melihat Abia hancur secara perlahan di depan matanya.

"Gue harus apa, Metta? Gue harus gimana biar bisa bantu ngeringanin beban lo?" gumam Arya frustasi.

Kepalanya bahkan ikut pening karena diserbu banyak pertanyaan semalaman. Seperti ... jika terluka lebih parah dari ini, apa Abia masih mampu bertahan?

****

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ABIA  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang