Beberapa hari, Abia tidak bisa masuk sekolah karena demam. Bukan hanya demam, gadis itu juga sepertinya kelelahan. Karena untuk berdiri dan bangkit dari kasurnya saja, Abia sangat kesusahan.
Malam di mana Arya menginap di rumahnya, paginya cowok itu memilih pulang setelah membelikan Abia nasi bungkus serta obat penurun panas untuk sarapan. Tapi, bukannya kondisinya lumayan membaik, gadis itu justru semakin kesulitan bahkan untuk membalikkan tubuh oleh pening juga tenaga yang seolah terkuras habis padahal Abia tidak melakukan apa-apa selain berbaring.
"Makan dulu, Bi."
Abia membuka mata pelan begitu mengenali suara cowok yang baru saja masuk dari ambang pintu kamarnya. Pria yang beberapa hari ini terus datang merawat dan menjaganya dengan telaten dan sabar selama terbaring di sini.
"Nggak mau," sahut gadis itu dengan suara serak karena baru bangun tidur.
"Pokoknya lo harus makan," paksa cowok itu sambil duduk di samping ranjang gadis itu dengan kursi meja rias.
Riko meletakkan telapak tangannya di kening Abia guna mengecek suhu tubuh gadis itu.
"Masih panas banget." Riko menggumam sedih.
"Maaf baru bisa dateng, soalnya gue baru pulang sekolah," sesal Riko yang merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Abia dalam jangka waktu lama.
Abia ingin menyanggah ucapan pria itu. Tapi, karena tidak punya cukup tenaga untuk berbicara dengan normal, gadis itu diam saja.
"Ayo makan dulu, Bi. Biar lo bisa sekolah dan beraktivitas kayak hari biasanya." Riko membujuk membuat Abia termangu.
Dia sudah cuti kerja lumayan lama. Apa dia sebentar lagi bakal dipecat, ya?
Menerima suapan bubur ayam yang disodorkan Riko, Abia mencoba menelannya meski bibirnya pahit juga tenggorokannya yang sakit. Dia harus sehat. Dia tidak boleh terus-terusan merepotkan Riko begini. Dia juga harus bisa bekerja seperti biasa lagi untuk menghidupi diri sendiri.
"Gue kasih tau Abang lo aja, ya? Gue kasih tau dia kalau lo tinggal di sini dan lagi sakit." Riko meminta izin yang Abia balas dengan gelengan.
"Kalau lo capek ngurusin gue yang sakit, enggak papa kok lo nggak usah dateng ke sini lagi. Asal jangan kasih tau Bang Kaisar." Abia menjawab cepat.
Riko menghela napas berat.
"Kalau capek nggak mungkin hari ini gue masih di sini 'kan, Bi? Cuma ... gue nggak mau liat sahabat gue harus nyesel di kemudian hari karena nelantarin adeknya sendiri kayak gini," jawab Riko terdengar frustasi.
Abia tersenyum getir.
"Itu pilihan dia, Rik. Lagian dia juga yang ngusir gue waktu itu. Jadi, nggak ada alasannya sekarang dia berhak tau keadaan gue. Lagipula di mata dia juga gue ini cuma pembunuh Ayah."
Abia merasakan kepalanya kembali memberat begitu menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu memejamkan mata rapat.
"Udah ya, gue nggak mau bahas Bang Kaisar lagi. Gue mau tidur," lanjut Abia sambil berbaring membelakangi Riko.
"Habisin buburnya dulu, Bi!" titah Riko sembari menepuk bahu Abia pelan.
"Enggak mau, taruh aja di atas meja. Nanti aja gue makan lagi. Tenggorokan gue sakit sekarang, gabia nelen apapun."
Entah karena memang benar mengantuk atau lelah dengan topik pembicaraannya dan Riko, Abia dalam waktu singkat sudah kembali terlelap. Riko yang menyadari hal itu, memilih menaikkan selimut Abia hingga bahu gadis itu.
"Have a nice dream, Biya."
****
Pagi ini, Abia sudah masuk sekolah. Demamnya sudah turun meski tubuhnya belum cukup fit seperti biasanya. Begitu memasuki kelas, para penghuni kelas memandangnya aneh.
"Masih sekolah di sini ternyata dia, kirain udah berhenti sekolah saking malunya."
Abia tidak menghiraukan kalimat bernada meremehkan itu. Justru, ia malah langsung berjalan ke bangkunya dan membaringkan kepala di balik lipatan tangan.
"Bi, kok udah masuk sekolah?" tanya Riko terdengar tidak suka.
Pria yang baru sampai di kelas dan masih berdiri di ambang pintu itu segera menghampiri Abia dan duduk di bangku depan gadis itu.
"Enggak papa, Rik. Gue udah sehat kok," jawab Abia yang tidak berhasil membuat Riko berwajah tenang.
Violyn, Rindi, Alea dan Raina yang mendengar percakapan kedua remaja itu, diam-diam melirik pada Abia yang memang masih berwajah pucat. Abia sakit apa? Pertanyaan itu terus berputar di tempurung kepala keempat gadis yang dulu menjadi sahabat dekat Abia tapi tak kunjung tersuarakan.
Bahkan, sampai Riko kembali ke tempat duduknya dan jam istirahat berbunyi, keempatnya tetap bungkam tanpa mau bertanya apapun pada Abia. Gengsi mereka terlalu besar sehingga untuk sekedar bertanya tentang keadaan sahabatnya saja mereka tidak mau.
"Kapan pusingnya berhenti sih?" gumam Abia lirih begitu jam istirahat dan tak ada satu orang pun yang tersisa di kelas.
Gadis itu memukul kepalanya yang kembali terserang nyeri dengan keras. Lalu, begitu merasakan mual, ia berlari keluar kelas guna menuju WC.
Di sepanjang koridor, Abia berlari secepat mungkin tanpa mempedulikan jalan di depannya. Hingga tanpa sadar gadis itu akhirnya menabrak Arya dan pacar barunya yang tengah berjalan berlawanan arah dengannya.
Bruk ....
"Jalan itu hati-hati dong! Jangan asal nyelonong terus nabrak orang aja!" murka pacar Arya yang tidak berniat ditanggapi Abia.
Menyadari keinginan untuk muntah yang kembali mendominasi, Abia menutup mulutnya menggunakan tangan. Tanpa mengucapkan maaf atau apapun, dia kembali berlari menuju toilet. Perutnya terasa panas dan bergejolak sekarang.
Arya yang menyadari keanehan gadis itu, tidak mampu berbuat apa-apa. Hanya diam memandang kepergian Abia dari hadapannya.
****
Sepulang sekolah, meski kembali merasa kurang enak badan, Abia tetap berjalan menuju kafe tempatnya bekerja. Tapi, baru memasuki kafe, Bossnya malah menahan langkahnya.
"Kemana saja kamu, Abia? Kamu tau berapa lama kamu cuti dan menghilang dari pekerjaanmu?" tanya Bosnya tegas dan terdengar sebal.
Abia menunduk dalam.
"Maaf, Pak. Saya kemarin---"
"Ah sudahlah, saya nggak mau denger alasan. Apapun alasannya, pekerjaan tetep pekerjaan. Kalau ada halangan, seenggaknya kasih kabar dulu. Baru jadi pekerja baru saja sudah begini, bagaimana kalau udah lama?" omel pria di depannya sebal.
Abia tetap memilih menunduk.
"Yasudah kalau gitu, kamu saya pecat aja. Saya nggak butuh pekerja lalai dan suka ngilang dari tugas soalnya, apapun alasannya."
Kali ini, Abia mendongak terkejut dengan keputusan Bosnya.
"P-Pak, jangan gitu. Maaf, saya nggak akan ngulangin lagi. Tolong jangan pecat saya. Kalau nggak kerja di sini, saya nggak tau mau kerja apa buat makan." Abia memohon yang tidak digubris pria itu.
Sampai Abia diusir keluar dan gadis itu berjalan kemudian berhenti untuk duduk di halte Bis, ia tanpa sadar meneteskan air matanya. Merasa putus asa karena sekarang dia sudah kehilangan pekerjaan yang menjadi alasannya mampu bertahan hidup hingga sekarang.
Lalu, sekarang Abia harus bagaimana?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...