Kaisar langsung masuk ke kamar Abia setelah mengetahui gadis itu telah pulang. Dengan senyum penuh kelegaan, pria berperawakan tinggi itu menelusuri kamar sang adik.
"Biya ... Biya ... kamu di mana?" Kaisar berteriak.
Tidak ada sahutan. Tapi, begitu mendengar suara air bergemericik dari arah kamar mandi, Kaisar tersenyum melega.
"Biya ... kamu di dalam? Cepetan keluar yaa! Abang mau ngomong." Kaisar berucap dari luar pintu kamar mandi.
Mendapati tak ada sahutan, Kaisar hanya diam. Sibuk menunggu di atas bangku meja rias sang adik sembari memperhatikan setiap sudut kamar.
Beberapa menit, tak ada tanda-tanda Abia keluar. Tapi, suara air keran masih menyala. Kaisar mencoba memaklumi. Biasanya, perempuan memang makhluk yang lambat untuk hal seperti ini, kan?
Namun, karena hampir setengah jam ia menunggu, perasaan cemas mulai menggelayuti benak Kaisar. Pria itu memilih mendekati pintu kamar mandi. Begitu mencoba mengetuknya beberapa kali, Kaisar tetap tidak mendapat jawaban dari Abia.
Kepanikan mulai mendominasi kesadaran Kaisar.
"Biya ... kamu di dalem, 'kan? Kok lama banget di dalem? Kamu nggak papa 'kan?" tanya Kaisar tidak sabaran.
Tetap tidak ada jawaban. Jika memang Abia di dalam dan mendengarkannya, tidak mungkin gadis itu tak menyahuti ucapannya sama sekali.
"Biya ... jangan bikin Abang panik! Kamu di dalem 'kan?" Kaisar berteriak sekali lagi.
Tak mau menunggu lebih lama lagi, Kaisar memilih mendobrak pintu tersebut. Hanya dengan beberapa kali hantaman, pintu kamar mandi terbuka.
BRAK!
"Biya!"
Kaisar berteriak tak percaya. Di sana, adiknya terkulai lemas dengan bagian kening serta hidung yang mengeluarkan darah. Darahnya merembes deras kemudian bercampur bersama air yang mengguyurnya.
Kaisar mendekati Abia. Sambil mematikan air shower, pria itu segera berjongkok. Diletakkannya kepala gadis itu di pangkuannya. Tangan Kaisar bahkan mulai gemetar saking terkejut dan paniknya.
Wajah Abia terlihat sepucat mayat. Bibirnya juga membiru serta menggigil kedinginan. Dengan sisa kesadarannya yang hampir habis, Abia merintih nyeri.
"Abang ... kepala Biya sakit."
Kali ini, gadis itu merintih di depan sang Kakak. Tidak tahu lagi harus menyembunyikan rasa sakit di sekujur tubuhnya dari Kaisar.
"Tunggu bentar! Abang teleponin Tante Cintya dulu." Dengan tangan yang masih gemetar hebat, Kaisar mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Halo ... Tante, cepat ke sini sekarang juga!"
"...." Tidak mengucapkan kalimat penutup, Kaisar langsung mematikan sambungan telepon.
"Di sini sakit!" rintih Abia sambil menggeliat. Tulang di sekitar punggungnya terasa begitu nyeri. Dia bahkan tidak yakin masih mampu untuk duduk.
Kaisar mengangkat tubuh Abia dan membawa gadis itu cepat keluar kamar. Selanjutnya, pria sipit itu membaringkan adiknya di kasur. Tapi, Abia tetap bergerak gelisah di tempatnya.
Sibuk mengontrol rasa sakit yang mendera hampir di sekujur tubuhnya. Kaisar yang melihatnya tak tahu harus melakukan apa.
Hal yang dapat dilakukannya hanya menenangkan gadis itu. Padahal, ia sendiri sudah kelimpungan bukan main.
Ini pertama kalinya Kaisar melihat Abia dalam kondisi yang parah. Sebelumnya, ia bahkan berpikir bahwa adiknya tidak bisa sakit. Gadis itu selalu terlihat sehat di hadapan Kaisar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...