Abia mengerjapkan mata begitu tersadar dari pingsannya. Belum sempat membuka mata dengan sempurna, pening mendera hebat membuat gadis itu kembali memejamkan mata erat.
"Ssh ... sakittt." Abia merintih begitu merasakan nyeri yang tak kunjung mereda.
"Sakit banget, ya?" tanya seorang pria yang ternyata sedari tadi berada di sampingnya cemas.
Abia yang menyadari pemilik suara itu, memilih mengabaikan dengan diam. Apalagi begitu tangan Arya hendak menyentuh puncak kepalanya, Abia menepis tangan pria itu pelan.
"Bentar, gue panggilin Dokter dulu." Arya berlari panik keluar berikutnya memanggil Dokter yang menangani Abia tadi.
Arya menunggu di sofa depan UKS. Membiarkan gadis itu ditangani oleh Dokter sekolah mereka. Tangan pria itu tanpa sadar saling meremas keras. Merasa luar biasa khawatir dengan kondisi Abia sekarang.
"Gimana, Dok?" tanya Arya cepat sembari berdiri begitu mendapati Dokter tersebut sudah keluar dan berdiri di hadapannya.
"Sebisa mungkin tolong jangan biarkan dia beraktivitas berat apalagi banyak memikirkan hal-hal berat. Beritahu itu pada keluarganya. Soalnya, itu akan sangat mempengaruhi kesehatan gadis itu." Dokter tersebut menitah tegas.
"Dia udah nggak papa 'kan, Dok?" tanya Arya lagi.
"Sekarang sih iya, soalnya saya sudah kasih obat pereda nyeri. Ingatkan dia juga untuk selalu minum obatnya teratur dan tepat waktu. Kalau sampai dia nggak merubah beberapa kebiasaan buruknya, bukannya makin membaik, justru kondisinya bakal makin buruk. Jadi saya peringatkan sekali lagi sama kamu, tolong beritahu keluarganya untuk menjaga pikiran, pekerjaan, serta apapun yang dia lakukan agar hidupnya terselamatkan. Dia masih sangat belia, temanmu itu tidak akan cukup bisa sembuh jika bukan dari niatnya sendiri serta dukungan orang-orang terdekatnya."
Setelah memberi peringatan panjang lebar, Dokter tersebut melenggang keluar. Meninggalkan Arya dengan perasaan bingung serta gelisah yang tak berkesudahan.
Siapa orang terdekat Abia? Dia? Bahkan Arya sudah merasa sangat tidak pantas untuk berbicara dengan gadis itu. Mama dan Abangnya? Bahkan mereka sepertinya sudah mulai sangat membenci Abia. Lalu, harus kepada siapa Arya memberikan tanggung jawab untuk menjaga gadis yang rupanya masih begitu sangat dicintainya tersebut?
"Maaf, Metta. Maaf ... karena sudah jadi sebrengsek ini." Arya mengacak rambut frustasi. Duduk dan meratapi ketidak berdayaannya di kursi itu hingga setengah jam lamanya.
Perasaannya diliputi tidak terima atas apa yang saat ini menimpa keduanya. Kenapa harus Abia yang diperlakukan setidak adil ini? Kenapa harus Abia yang terus-terusan ditempa oleh segenap sakit dan kemalangan? Kenapa bukan Arya? Kenapa bukan dirinya yang seharusnya paling mampu menjaga gadis itu kala terluka?
****
Arya memandangi sekresek bubur ayam yang dibelinya lagi untuk Abia. Pria itu masih berdiri di ambang pintu UKS dengan perasaan gusar. Bingung harus memberi alasan apa untuk tindakannya.
"Nggak papa, hari ini aja. Kali ini aja gue bisa bicara dengan wajar sama lo, Metta."
Membuka pintu UKS dan segera menuju tempat di mana gadis itu berbaring, Arya cuma bisa menghela berat begitu menemukan sorot kosong dari mata Abia yang biasanya berbinar ceria dan diliputi tawa. Abia ... terlihat semakin berbeda.
"Metta ... lo harus makan." Arya memecahkan hening di dalam ruangan yang hanya didominasi oleh suara jarum jam yang berdetak seiring waktu berdetik itu.
Abia menoleh terlihat kaget. Tapi, begitu mendapati persensi Arya yang berdiri di samping ranjangnya, gadis itu tersenyum tipis--lebih ke tersenyum getir.
"Ayo makan, biar lo cepet sehat." Arya duduk dan segera membukakan kotak bubur ayam tersebut guna menyuapkannya pada Abia.
Bubur yang sebelumnya diberikannya tidak gadis itu sentuh sama sekali. Sekarang, tentu saja bubur tersebut sudah dingin. Jadi Arya memilih untuk membelikan saja yang baru.
Baru saja menyodorkan sesendok bubur ke mulut gadis yang kali ini sudah setengah berbaring itu, Abia menolak dengan memalingkan wajah. Tangisnya tanpa dapat dicegah kontan pecah.
"Jangan jadi sebaik ini, Arya. Tolong jangan jadi baik sama pembunuh kayak gue. Tolong menjauh, pergi aja, terus aja berperilaku jahat biar gue bisa segera benci sama lo."
Abia menangis terisak. Dia tidak suka jika Arya bersikap baik padanya hanya karena kasihan. Pria itu tahu tentang penyakitnya, jadi wajar saja jika dia bersikap baik saat ini. Tapi, Abia benci fakta itu. Abia benci mengakui bahwa Arya hanya akan bersikap baik padanya hari ini. Tidak besok, tidak lusa, tidak juga hari-hari lainnya.
"Kenapa masih di sini? Sana pergi! Jangan kasihan sama gue. Gue nggak selemah yang lo kira, Arya!" Abia membentak tapi tidak pernah berani menatap mata pria yang duduk mematung di belakangnya.
"Yaudah," Arya bangkit berdiri. "Sehat selalu, Almetta. Gue pergi dulu."
Sebelum meninggalkan UKS, Arya mengusap puncak kepala Abia lembut. Mungkin benar. Kehadirannya hanya akan menambah luka di hati gadis itu.
Kehadirannya ... terlihat terlalu menyebalkan di mata Abia.
****
Hari minggu. Hari di mana Abia memang libur sekolah, tapi malah full time bekerja dan mengurus rumah. Tinggal sendiri dengan status sebagai pelajar sekaligus pegawai kafe membuat Abia harus mampu mengatur waktu.
Seperti sore ini. Begitu sepulang dari bekerja pukul 4 sore, Abia memilih pergi ke supermarket dekat kontrakannya guna memberi beberapa kebutuhan rumah dan makanan.
Tentu saja, Abia lebih banyak membeli makanan instan yang tentunya terjangkau untuk dompetnya. Selain karena tidak cukup punya tabungan banyak, gadis itu juga tidak punya banyak waktu untuk memasak. Kadang, saking kelaparannya karena pulang larut malam atau sore dari sekolah dan bekerja, Abia rasanya tidak mampu memasak hingga akhirnya hanya mampu menyeduh mie cepat saji saja guna segera menuntaskan rasa laparnya.
"Ma, Kai mau coba masak pasta. Beliin yang ini, ya!"
Abia menoleh terkejut begitu menemukan Kaisar dan sang Mama--- Monica juga tengah belanja di minimarket yang sama dengannya. Kebetulan sekali, Abia sangat merindukan wajah kedua orang itu. Meski mungkin, jangankan merindukan, mengingat Abia saja mereka mungkin sudah enggan.
"Jangan, Kaisar! Mama cukup ingat ya, terakhir memasak ini, kamu bikin dapur dan rasa masakannya hancur." Monica menolak tegas.
Kaisar cemberut. Abia yang mendengarkan dari ujung rak mie instan, mati-matian menahan genangan di pelupuk matanya yang mulai memburam karena berkaca-kaca oleh air mata.
Terakhir kali memasak makanan itu, Kaisar memberikan Abia sebagai orang pertama yang mencobanya. Terakhir kali memasak, Kaisar masih menyayangi Abia. Terakhir kali memasak, Kaisar belum membencinya. Terakhir kali tertawa bersama, mereka tidak serenggang ini.
"Nggak mau tau, pokoknya Kai mau beli dan coba masak lagi. Oh iya, Kai juga mau beli mie instan, Ma. Cadangan kalau Mama nginep di rumah Nenek, ehehe." Kaisar cengar-cengir.
Menyadari tempatnya berdiri, Abia hendak berjalan menjauh sebelum keduanya menyadari keberadaan gadis itu. Tapi, kalimat yang dilontarkan Monica selanjutnya, membuat Abia menghentikan langkah.
"Mama nggak akan ke rumah nenekmu lagi. Terakhir ke sana ... Ayah kamu malah dibunuh anak tidak tahu diri itu."
Mamanya ... sangat membencinya, ya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...