Pagi ini, selesai mandi, sholat, bersih-bersih dan menyeduh mie instan untuk sarapan, Abia memilih kembali berbaring dan memejamkan mata meski tidak benar-benar tertidur.
Tubuh juga mentalnya rasanya lelah sekali. Sampai untuk keluar dari kontrakan sempitnya saja, Abia merasa tidak sanggup. Dia butuh istirahat saja seharian ini. Dia tidak ingin bertemu siapapun apalagi melakukan apapun.
Meski memejamkan mata, bayangan kata pembunuh dan pembunuh terus berkeliaran di kepalanya. Membuat Abia, bahkan tidak pernah mampu benar-benar tertidur barang sedetik saja. Abia sangat takut mentalnya terganggu karena hal ini.
"Tuhan, sebenernya ... untuk siapa Biya hidup? Biya juga ingin bicara kayak biasa sama temen-temen, pengen kumpul kayak biasa sama Mama dan Bang Kai juga. Kapan bisa kayak gitu lagi? Apa sampai Biya mati, Biya nggak akan pernah punya siapapun dan dipeduliin siapapun di sini?"
Pada akhirnya, yang bakal gadis itu lakukan ketika sendiri adalah menangis dan menangis. Dia juga kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia harus secengeng ini?
"Biya bukan pembunuh, Biya nggak pernah bunuh Ayah! SIAPA YANG MAU PERCAYA?!" teriak gadis itu kian menjadi.
Dia bahkan bingung dengan apa yang diucapkannya. Abia mulai tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri akhir-akhir ini. Segala sesuatunya terasa salah. Dan Abia bingung harus menyikapi segala masalah yang datang beruntun dengan cara apa.
"Kalau bisa, Biya lebih baik nggak dilahirkan aja sekalian. Biya enggak pernah minta buat ditakdirin jadi gadis yang bodoh, Biya nggak pernah mau jadi gadis pembunuh, Biya nggak akan pernah mau jadi orang semenjijikkan ini."
Cukup lama gadis itu menangis, hingga akhirnya mampu terlelap meski dengan mata sembab. Menangis juga bisa membuatnya selelah ini ternyata.
****
Suasana di kelas sebelas IPA 3 terlihat biasa saja. Tapi, bagi Riko terasa sedikit berbeda. Melirik ke bangku belakang paling pojok kanan, pria itu menghela berat.
Ternyata, Abia tidak masuk, ya? Apa gadis itu sakit lagi? Menepis sejenak berbagai kemungkinan buruk yang berkeliaran di kepala, Riko mencoba fokus pada pelajarannya meski tidak bisa.
Bahkan, hingga bel pulang sekolah berbunyi, Riko tidak mampu memberikan fokus utamanya pada buku. Justru pertanyaan tentang bagaimana keadaan Abia memenuhi kepala tanpa diminta.
Terbiasa sejak dulu menjaga Abia dari jauh atas pesan Kaisar, membuat Riko tidak bisa menghentikan kegiatannya meski Kaisar sudah tidak meminta. Riko ... merasa Abia sudah seperti adiknya sendiri.
Dulu, Riko memang mempunyai seorang adik perempuan. Mereka kembar berbeda jenis. Namanya Rika. Tapi, karena terkena penyakit Leukemia Limfositik Kronis, nyawanya tidak terselamatkan ketika dia baru berusia 15 tahun--- lebih tepatnya saat menginjak bangku kelas 10 SMA.
Mungkin, jika Rika masih hidup, dia bakal sebesar dan secantik Abia. Bentuk tubuh dan sifatnya juga hampir mirip dengan adik Kaisar tersebut. Mungil dan pendek dengan sifat pendiam namun berkepribadian kuat dan hangat.
Riko menyayangi Abia seperti adiknya sendiri. Jadi, jika gadis itu terluka seperti kemarin, Riko bakal sangat marah. Sudah cukup dia melihat adiknya terluka, jangan pula Abia juga harus merasakan hal yang sama apalagi sampai tidak terselamatkan nyawanya.
Riko ... hanya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
****
Tok tok tok ....
Abia terbangun begitu sebuah suara ketukan di pintu mengusik pendengarannya. Gadis itu kontan terlonjak karena sadar telah tidur terlalu lama. Dia belum sholat Zuhur.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...