Abia pulang ke rumah dalam keadaan kacau. Keadaan sekolahnya tidak membaik. Pun pekerjaannya yang sekarang malah sudah tidak ada. Lalu, dia harus bagaimana sekarang?
Sebentar lagi pasti pemilik kontrakan juga datang karena ini sudah akhir bulan. Abia belum membayar biaya sewa kontrakannya tentu saja.
Duduk di sisi ranjang dengan pandangan kosong, gadis itu memungut ponselnya yang sudah lupa kapan terakhir kali disentuhnya. Membuka benda berlayar pipih yang tadi ditemukannya tergeletak di kolong kasur, Abia terkejut begitu mendapati sebuah pesan masuk dari Riko.
Riko MIPA3 : Bi, hari ini gue berangkat pindahan sama Mama ke Bogor. Maaf nggak bisa pamit ke lo langsung, soalnya Mama tiba-tiba banget.
Riko MIPA3 : Jaga diri baik-baik, ya! See you next time, jangan sedih terus!
Abia baru saja akan membalas pesan pria itu kalau saja ponselnya tidak lebih dulu tergelincir dari tangannya dan berakhir jatuh ke lantai. Segera memungut benda berlayar pipih itu dengan panik, Abia menghela napas berat begitu menyadari layarnya sudah retak dengan baterai berceceran keluar. Ponselnya tidak terselamatkan.
Tok tok tok ....
"Abia!" Teriakan dari arah luar kontrakan membuat gadis itu segera bangkit dan berjalan cepat guna membukakan pintu.
Begitu membuka pintu, wajah sang pemilik kontrakan memandangnya agak sebal. Abia mencoba membalas dengan senyuman seramah mungkin.
"Kapan mau bayar kontrakan? Ini udah akhir bulan, loh!" tanya perempuan itu yang sudah Abia duga sekali.
"Aku belum ada uang, Bu. Kasih waktu beberapa hari lagi, ya?" pinta Abia memohon.
Wanita dengan baju modis di depannya mendengkus keras. Menunjukkan perasaan keberatannya tapi tak ayal menyetujui saja.
"Okey, saya kasih kamu waktu sampai besok aja. Kalau nggak bisa dilunasin juga, ya terima aja konsekuensinya. Kemasi barang-barang kamu dan keluar. Soalnya saya juga masih butuh banyak kontrakan kosong buat pelanggan yang lain." Abia mengangguk mengerti.
Begitu sang pemilik kontrakan pamit pergi, Abia memilih duduk di kursi kayu depan teras. Lagi-lagi, pandangannya menyorot nyalang. Besok, ya? Bagaimana dia bisa mendapat uang 500 ribu dalam jangka waktu sehari? Sedangkan sekarang, dia saja sudah tidak mempunyai pekerjaan.
Kepala Abia kembali diserang pening memikirkan berbagai masalah yang menimpanya beberapa hari belakangan. Bukannya membaik, segalanya justru terasa semakin memburuk saja.
Melihat tanggal di kalender, lagi-lagi gadis itu harus menghela jengah. Sudah akhir bulan. Obatnya sudah habis sejak lama. Tante Cintya juga pasti sudah menunggunya untuk datang check up.
Mengabaikan sekian banyak hal yang menggangu kepala, Abia memilih masuk kamarnya. Dia harus mencoba menikmati sisa-sisa hari terakhir dia mampu menempati tempat ini. Sebab besok, Abia sepertinya tidak akan bisa menetap di sini lagi.
Kontrakan kecil ini sudah banyak menyimpan kenangan-kenangan milik Abia. Segala patah hatinya, kecewa, serta sakit-sakit yang tidak pernah orang lain mengerti kecuali dirinya sendiri.
Dia ingin kembali menghabiskan waktu sendiri. Bersama bantal kamar yang terus basah oleh tangis pilunya semalaman. Oleh lampu temaram yang menyaksikan betapa hancur Abia beberapa waktu belakang. Atau sekedar denting kesepian dari alat makan yang mendengar isak nyaringnya sepanjang hari ketika Abia bahkan terlalu lelah akan dirinya sendiri.
"Gimanapun keadaannya, Biya nggak akan mau pulang ke rumah Almarhum Ayah lagi. Karena rumah Biya emang nyatanya di sini, bukan di sana." Abia menggumam sambil membaringkan tubuhnya di kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...