Bertahan Hidup

3.4K 188 0
                                    

Abia terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa remuk redam. Hari senin bukan sahabat yang baik untuknya. Setelah di hari minggu seharian bekerja, Abia tentu saja merasakan tubuhnya letih luar biasa.

"Ayo bangun, Abia! Kamu harus sekolah!" tegur Abia pada dirinya sendiri.

Melangkah gontai menuju kamar mandi, perempuan itu justru diserang mual. Tak berselang lama, perutnya dilanda gejolak panas entah apa.

Berlari ke arah kloset, berikutnya gadis itu muntah lumayan banyak. Tapi, yang keluar dari mulutnya hanya air saja. Sebab, Abia memang tidak pernah menyentuh makanan sejak kemarin siang.

"Astaga pusing banget," gumam Abia begitu merasakan kepalanya berkunang-kunang dengan tubuh oleng dan hampir ambruk di kamar mandi.

Menggeleng-gelengkan kepala guna menetralisir pusing yang mendera, berikutnya Abia segera melaksanakan ritual paginya cepat. Dia harus cepat-cepat membersihkan diri, solat, dan mencari sarapan jika tidak ingin ambruk di upacara bendera nanti.

"Makan apa, ya?" bingung Abia begitu selesai mandi sembari mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.

Gadis itu sudah memakai seragam putih abunya. Entah kenapa, pagi ini udara terasa dingin sekali. Padahal semalam tidak turun hujan.

Jadi, Abia memutuskan untuk melapisi seragam putih abunya dengan sweater rajut berwarna mocca berikutnya keluar mencari sarapan. Stok mie instannya sudah habis. Jadi, jika tidak membeli nasi bungkus, mungkin Abia akan membeli mie instan lagi dan memasaknya untuk sarapan di rumah. Karena, jika memasak yang lain pasti tidak bisa. Bumbu-bumbu dapurnya tidak lengkap dan Abia tidak punya cukup waktu karena sebentar lagi bakal masuk sekolah.

Memasang sendal tipis yang beberapa waktu lalu dibelinya karena sendal jepitnya yang diberikan Kaisar dulu putus, gadis itu segera mengunci pintu dan berjalan menyusuri gang kompleks yang bisa terbilang cukup sempit dan agak kumuh.

Rumahnya sekarang, jauh berbeda sekali dengan rumahnya bersama Mama, Abang dan Ayahnya. Kamarnya sempit, sedangkan di rumah lama sangat besar. Tidak ada pembantu yang bisa membersihkan dan memasak setiap hari, sedangkan di sini Abia harus mengerjakan semuanya sendiri.

Tapi, entah kenapa Abia merasa lebih nyaman berada di sini. Begitu tenang dan sunyi. Tidak ada cacian, bentakan, apalagi cambukan. Meski gadis itu tidak bisa berbohong bahwa dia merasa sangat kesepian. Berada jauh dari keluarga tetap saja jadi beban yang sangat berat bagi Abia.

Namun mau bagaimana lagi. Sekeras apapun Abia berusaha, memang beginilah hasilnya. Abia tetap diasingkan, Mama dan Abangnya bahagia tanpa kehadirannya. Para sahabatnya menjauhi, dengan Arya yang juga ikut membenci.

Atas semua yang gadis itu hadapi kala ini, Abia setidaknya merasa bersyukur. Tuhan sepertinya sedang gemar mengajarkannya jadi seseorang yang mandiri. Mampu berdiri sendiri, tanpa bantuan orang lain yang suatu saat bisa saja pergi.

Abia mengerti Tuhan sedang mengujinya. Jadi, Abia tidak akan mau mengeluh lebih banyak lagi. Sudah cukup Tuhan memberinya nyawa dan kesempatan bernapas hingga detik ini. Seharusnya dia harus cukup senang akan hal itu.

Ya, sebaiknya Abia memang harus tetap bersyukur.

****

Karena takut terlambat, Abia memilih membawa nasi bungkus yang dibelinya ke sekolah. Dia akan memakan nanti saja ketika istirahat pertama. Soalnya terlambat ketika upacara itu fatal sekali. Bukan hanya masuk BK dengan sanksi dikurangi nilai, tapi juga bakal dipermalukan sepanjang upacara dengan berbaris menghadap matahari terbit.

"Aih ... pusing," geram Abia begitu merasakan kepalanya kembali diserang nyeri sekaligus berkunang-kunang saat pengibaran bendera merah putih.

"Kapan selesainya?" tanya gadis itu lagi pada dirinya sendiri.

ABIA  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang