Sahabat dan Penyekat

5.1K 320 0
                                    

"Keluarga adalah sebaik-baik tempat berpulang. Meski orang lain menawarkan tempat yang lebih nyaman."

***

Abia sedari tadi hanya mampu mendengus sebal karena sahabat-sahabat kurang kerjaannya yang mengomel panjang lebar. Dan topik utama dalam perbincangan tersebut adalah Arya--cowok yang baru dikenalnya beberapa jam lalu.

"Hadeeh ... Rindi, gue rasa kalau Abia sama Arya jadian itu bukan masalah besar. Siapa tau aja Arya kali ini beneran suka sama Abia."

Ini salah satu ucapan yang Abia tak sukai. Dia kenal dengan Arya saja tadi, sudah main diprediksi sejauh itu saja. Tidak tahu apa kalau Abia ketauan pacaran, bisa-bisa Ayahnya akan mengamuk padanya lagi. Tubuh malangnya pun akan jadi samsak dadakan.

"Udahlah, kalian ini, bicarain hal yang enggak penting banget." Abia mencibir malas.

"Biyaaa, ini hal penting! Menyangkut masa depan dan kelanjutan kisah hidup lo." Violyn mendramatisir.

Abia hanya bisa memandang malas. Susah sekali membuat ketiga manusia di depannya berhenti menggosipkan dirinya. Abia jadi lapar dan ingin ke kantin sekarang.

Kebetulan tadi pagi ia tidak sarapan karena takut berada dalam satu ruang bersama Ayahnya lagi. Rasanya terlalu malas menerima cacian di pagi hari yang bisa saja merusak mood-nya.

"Nggak ada yang mau ke kantin, kah?"

"No no no, kita udah kenyang, Abia. Dari istirahat pertama gue ngajak lo tapi baru sekarang lo mau pergi saat kita udah kenyang. Jadi ... sorry-sorry to say aja, yaa." Alea ngoceh panjang kali lebar.

Abia mendengus sebal. Kalau begini ia tidak akan mau ke kantin. Karena tanpa sahabat-sahabatnya, Abia tak akan pernah dengan suka rela menginjakkan kaki keluar kelas kecuali di saat genting ataupun pulang sekolah.

"Kalian jahat banget, sih. Gue kan laper, masak nggak ada yang mau nemenin?" Abia merajuk dengan wajah cemberut.

Sahabat-sahabatnya hanya terkekeh geli. Raina yang saat itu berada di dekat Abia malah menepuk pundak Abia pelan.

"Abia Abia ... seenggak bisa itukah lo keluar kelas tanpa kita?" Bukannya menjawab, Abia malah meringis kesakitan.

Raina terkejut dan memilih menjauhkan tangannya. Matanya memandang Abia cemas.

"Punggung lo kenapa? Kok bisa sakit? Padahal, kan, gue nepuknya pelan." Raina panik sendiri.

"Enggak papa kok, hehe." Abia malah menyengir membuat sahabat-sahabatnya mengernyit heran.

"Gue ... ke kantin dulu kalau gitu, bye!"

Setelahnya, Abia keluar kelas dengan langkah terburu-buru. Sedangkan sahabat-sahabatnya hanya memandang lebih keheranan lagi.

Abia terlihat ... aneh. Entah apa yang terjadi dengan gadis itu. Yang jelas, ketiga gadis di sana sadar, Abia tidak sepenuhnya terbuka pada mereka.

Masih ada penyekat di antara Abia dan ketiganya. Abia belum sepenuhnya mampu membagi apa yang ia rasakan dan alami.

Di tempat lain, di dalam sebuah bilik toilet, seorang gadis meringis kesakitan sembari memegangi punggungnya yang terasa nyeri. Bekas cambukan Ayahnya masih basah dan belum mengering.

Bila disentuh sedikit saja, rasanya luar biasa nyeri. Apalagi ditepuk seperti tadi. Tapi, Abia tak ingin sahabat-sahabatnya tahu apa yang ia alami selama ini.

Itu semua dikarenakan gadis itu tidak ingin membuat mereka khawatir. Biarkan Abia menanggung segala rasa sakitnya sendiri. Punya mereka saja Abia sangat bersyukur sekali. Apalagi mereka juga harus merasakan beban yang ia tanggung selama ini, rasanya sangat tidak tahu diri.

***

Author's note:

Btw ... multimedianya enggak ada hubungannya sama cerita, yaa. Aku cuma sekalian kasih rekomendasi lagu bagus aja.

ABIA  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang