Abia terbangun begitu mendengar grasak grusuk dan suara ribut teman kelasnya yang rupanya sudah selesai upacara. Menoleh ke segala arah, Abia dibuat risih begitu mendapati wajah tidak bersahabat teman sekelasnya.
"Katanya sakit, taunya malah berduaan di kelas sama cowok. Cih ... dasar modus!" cibir seseorang dengan mata menyorot Abia meremehkan.
Abia mengernyit bingung. Siapa yang berduaan? Padahal sedari tadi Abia hanya tertidur setelah diantar Riko ke kelas? Apa maksud mereka Riko, ya?
Tapi, malas berdebat karena Abia sadar tidak akan ada yang mau mempercayainya, gadis itu memilih diam dan mengeluarkan buku pelajaran. Guru masuk tak berselang lama.
Selama pelajaran, entah kenapa Abia merasa Bu Laras--- Guru Fisika, seolah terus menatap sinis tiap bersitatap dengannya. Ketika Abia mengangkat tangan dan hendak mengajukan pertanyaan, perempuan itu juga tidak nampak mencoba peduli pada kehadirannya.
Kenapa? Apa Abia sempat melakukan kesalahan pada guru yang sebelumnya biasa begitu mengandalkannya di kelas itu?
Sampai pelajaran selesai, Abia tidak berhasil menemukan jawabannya. Sementara teman kelasnya sudah bergegas ke Laboratorium Biologi setelah ganti pelajaran, Abia justru tetap duduk dan memperhatikan Bu Laras yang tengah mengemasi buku yang dibawanya guna pergi mengajar ke kelas lain.
Sebelum berdiri, Abia lebih dulu ikut berdiri dan mengejar perempuan yang hendak keluar kelas itu. Tangannya tersodor guna menyalami punggung tangan sang Ibu Guru.
Bu Laras menerima dengan wajah seolah tidak terima jika tangannya disentuh Abia. Tentu saja Abia menyadari hal itu. Kemudian, dengan ragu, gadis itu memilih bertanya saja.
"Bu, saya ada salah ya, sama Bu Guru?" tanya Abia takut.
"Kok nanya gitu?" tanya Bu Laras balik.
"Ya karena--- "
"Udah jelas lah kamu ada salah, bahkan banyak." Bu Laras memotong kalimat gadis itu cepat. Membuat Abia kontan mendongak kaget.
"S-salah saya apa, Bu? Setahu saya, saya tidak pernah telat apalagi tidak mengerjakan tugas yang diberikan Ibu. Saya juga nggak merasa pernah ngelanggar peraturan yang Ibu buat selama di jam pelajaran." Abia menjawab bingung.
"Kamu 'kan pembunuh, Biya. Masak enggak sadar sih? Saya malu loh, punya murid tukang kriminal kayak kamu. Nyesel saya dulu pernah sangat percaya dan ngandelin kamu," jawab Bu Laras jujur.
Abia menunduk dalam. Tidak berkata apa apa lagi. Pembunuh, ya? Okey.
"Yasudah, Bu. Terimakasih atas jawabannya. Dan ... maaf sudah ganggu Ibu."
Abia berjalan masih sambil menunduk dan kembali duduk di bangkunya semula. Sampai Bu Laras keluar kelas, Abia masih duduk sembari menunduk dalam.
"Bosen ya, dikatain pembunuh terus. Anehnya nggak bosen bosen ngerasa sakit hati. Soalnya kata mereka salah, soalnya karena kata mereka, jadi keliatan kayak kamu yang salah, Biya."
Abia menggumam pada dirinya sendiri. Akhir-akhir ini, Abia memang kerap berbicara pada dirinya sendiri. Lagipula, mau mengajak bicara siapa? Tidak ada yang mau mengertinya, 'kan? Karena yang tidak akan meninggalkan Abia seburuk apapun dia, memang cuma dirinya sendiri, sih.
"Huft ... bosen di kelas terus. Ke taman aja deh," gumam gadis itu lagi sembari berdiri dan berjalan keluar kelas.
Setidaknya, Abia butuh udara segar juga. Bukan hanya cacian dari teman-teman dan gurunya saja.
****
"Kita jadi 'kan, Ren?" Seorang gadis dengan jepit rambut pink berjalan mendekat pada gadis lain yang tengah duduk di atas meja kelas paling depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...