Abia pandangi secarik kertas dalam genggaman. Itu adalah surat persetujuan orang tua. SMA Nusa Bhakti mengadakan acara camping selama 3 hari 3 malam. Jadi, Abia butuh tanda tangan orang tuanya.
Tapi, menyadari Bisma tak mungkin sudi menandatangani surat persetujuan untuknya, dan Monica yang sedang pergi ke Rumah nenek di Bogor, Abia menghela kecewa. Wajahnya berubah murung seketika.
"Gini amat nasib gue. Punya orang tua tapi berasa kayak anak terlantar." Abia terkekeh miris. Menertawakan dirinya sendiri.
"Gue pengen ikutan padahal. Coba kalau Mama di Rumah, pasti nggak bakal seribet ini." Kali ini cewek itu cemberut.
Arya yang sedari tadi mendengarkan dari ambang pintu kelas hanya tersenyum miris. Sampai kapan Abia bisa bersandiwara dengan sebegitu baiknya di depannya?
"Metta!" teriak Arya dari ambang pintu kelas yang saat ini sepi karena jam istirahat.
"Udah gue bilang, nama gue Abia!" Abia menekankan kelewat sebal.
"Hehe ... udah gue bilang, itu panggilan sayang gue ke lo!" Arya menirukan.
"Dasar nggak kreatif!" Abia mencibir tapi tak ayal malah tersenyum.
Entahlah, berbicara dengan Arya selalu berhasil membuatnya bahagia. Meski dengan cara paling menyebalkan sekali pun.
"Ikut camping?" tanya Arya setelah duduk di meja Abia.
"Kayaknya enggak deh." Abia menjawab pelan.
"Surat izin lo mana?" Arya bertanya lagi.
"Buat apa?"
"Kasih aja ke gue. Lo udah nggak butuh juga, 'kan?" Arya memaksa.
Abia sodorkan secarik kertas yang tadi sempat dipandanginya. Sedikit tak rela karena gadis itu berharap ada keajaiban yang membuat Mamanya cepat pulang dan menandatangani surat izin itu.
"Buat apa sih?" Abia penasaran.
Tapi, Arya hanya membalas dengan sunggingan senyum manis. Sayangnya, hal itu tak berhasil membuat Abia terciprat pesona pria yang dikenal playboy tersebut.
"Percaya aja sama gue, Metta sayang."
"Sayang-sayang! Lo kira gue cewek apaan seenak jidat dipanggil sayang sama orang asing?!" Abia tak terima.
"What?! Setelah beberapa hari ini gue selalu ngintilin lo, lo masih nganggep gue orang asing?!" Arya bertanya kelewat heboh.
Tapi, percakapan keduanya akhirnya harus terhenti tatkala menyadari para netizen yang budiman alias keempat sahabat Abia tengah menguping dari ambang pintu.
"Astaga astaga! Itu Abia kenapa nasibnya mujur banget bisa deket sama Arya?"
"Deket sama Arya lo kira mujur? Bisa-bisa beberapa hari lagi tuh anak nangis kejer setelah dibaperin sama playboy satu itu."
"Gue rela kok jadi yang kesekian buat Arya asalkan dia jadiin gue pacar."
Gumaman-gumaman itu membuat Abia mendengus sebal. Dasar kaum pemuja cogan! Abia rutuki keempat sahabat sengkleknya kelewat kesal.
"Balik sana! Gue bosen jadi bahan ghibah sahabat sendiri."
Melihat wajah tertekuk sebal Abia justru membuat Arya terkekeh. Kenapa gadis di depannya ini bisa sangat menggemaskan?
"Gue balik dulu. Makasih surat izinnya, Metta sayang."
Dengan tangan menjawil sebelah pipi Abia kelewat santai, Arya berlari sebelum mendengar teriakan amarah Abia. Justru yang ia dapati hanya teriakan histeris Raina, Alea, Violyn dan Rindi yang sekalian diberikannya kedipan sok ganteng (menurut Abia).
"Si Playboy itu!" Abia mendesis tertahan.
****
Abia masih melotot pada cowok di depannya yang tengah senyam-senyum sembari menyembunyikan tangan di balik badan. Apa yang dilakukan Arya di balkon kamarnya coba?
Kalau Ayahnya memergoki mereka 'kan bahaya! Bagaimana nasib Abia?
"Ngapain lo di sini? Mau nyari mati?!" Abia bertanya kelewat kesal.
"Liat apa yang gue bawa buat lo!"
"Gimana gue bisa liat kalau lo masih umpetin di belakang?" cibir Abia membuat Arya tersenyum tanpa dosa.
"Hehe ... tebak dulu deh." Arya menawar.
"Gue nggak suka dinego-nego cincay yaa!" Abia putar bola mata malas.
"Jutek banget sih, Mett. Iya iya, ini gue kasih liat. Nggak sabaran banget di kasih surprise sama calon pacar." Arya menggoda sembari mencolek dagu Abia pelan.
Seperti biasa, Abia menanggapi dengan desisan sebal.
"Taraaa ... " Arya berucap heboh sembari menunjukkan surat izin yang sempat pria itu ambil dari Abia.
Sejenak, Abia mengernyit bingung. Tak mengerti maksud pria kurang jelas di depannya.
"Maksud lo apa ngasih gue surat izin ini lagi? Gue bukan penjual gorengan yaa! Jadi nggak butuh peniris minyak." Abia mengingatkan.
Arya menggeleng kelewat semangat. Selanjutnya, menunjukkan kolom tanda tangan orang tua yang kini sudah terisi.
"Lahh ... ini 'kan formulir gue? Kenapa udah ditanda tanganin?" Abia bertanya bingung sekaligus heboh seketika.
"Hehe ... iya dong! Udah gue mintain tanda tangannya Tante Cintya. Dia 'kan juga bisa jadi wali lo." Arya menjelaskan.
Abia mengangguk-angguk. Tampak membenarkan.
"Bener juga sih, kok gue baru ngeh?" Abia bertanya pada dirinya sendiri.
"Lagian kalaupun lo nggak ngeh sekali pun, kenapa lo harus repot? Tinggal palsuin tanda tangan orang tua pake tanda tangan lo. Gitu aja kok repot?" Arya menyarankan kelewat baik.
"Gue mah jujur, nggak kayak lo! Keliatan banget kan jadinya lo sering malsuin tanda tangan orang tua." Abia menyindir.
Arya membalas dengan cengiran tak berdosa andalannya.
"Tau aja lo. Kita soalnya sama sih. Bedanya, Papa sama Mama gue sibuk selingkuh. Bukan sibuk ngurusin anaknya yang lain kayak orangtua lo."
Ucapan kelewat enteng dari mulut Arya membuat Abia menoleh cepat. Tampak tak percaya.
"Seriusan?!"
"Jangan tatap gue kayak gitu. Gue nggak suka dikasihani," peringat Arya tanpa menatap Abia.
Setelah mendengar itu, Abia diam. Tapi, matanya tak berhenti memandang wajah Arya yang tengah memejamkan mata menikmati angin malam yang menerpa wajahnya.
"Lo kayaknya enggak sesederhana yang gue pikirin." Gadis itu menggumam lirih.
"Oh iya, gue juga bawa ini dong!" Arya menyahut semangat.
Menyodorkan kresek putih berukuran sedang pada Abia. Gadis yang malam ini mengikat rambutnya dengan kuncir satu, mengernyit bingung.
"Ini apa?" tanya Abia menerima pemberian Arya.
"Isinya martabak. Tadinya gue mau ajak lo beli langsung aja keluar, tapi gue tau kok lo nggak mungkin dikasih keluar sama Ayah lo." Arya menyahut santai.
Abia menoleh cepat.
"Kok tau?" tanya Abia terkejut.
"Bahkan tanpa lo cerita, gue tau semua tentang lo, Metta. Tentang keluarga, sampai penyakit lo. Jadi, tolong jangan sembunyiin apapun dari gue, ya!"
Abia diam. Mencerna setiap kalimat yang dilontarkan Arya. Jadi ... pria itu tahu, ya? Semuanya?
"Gue balik dulu, Metta! Dihabisin martabaknya, jangan disenyumin aja. Ntar martabaknya diabetes loh."
Mengacak gemas puncak kepala Abia, Arya memilih berlalu. Membiarkan Abia tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Kenapa Arya harus tahu? Abia belum siap jika ada orang yang melihat sisi kelamnya begini. Pria itu sudah terlalu jauh mengetahui tentangnya.
Padahal, Abia bahkan tidak mengerti tentang rahasia Arya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...