Gadis Pembunuh

3K 213 4
                                    


"Abiaaa! Kenapa kamu enggak pernah bisa melakukan apapun dengan benar?!" Teriakan geram dari ruang tengah membuat Abia berjalan menuruni tangga cepat.

Mengabaikan letihnya karena baru saja pulang sekolah, perintah Mamanya tentu saja adalah hal utama yang harus dipenuhi.

"Kenapa, Ma?" tanya Abia lirih.

Gadis itu baru saja pulang sekolah dan ia luar biasa lelah. Apalagi tadi ia langsung membersihkan gudang yang kini berubah menjadi kamarnya.

"Ini kenapa bekas bungkus snack-nya belum dibuang?" Monica bertanya menuntut.

"Aku enggak tau ada sampah itu di sana. Soalnya pas aku bersihin tadi pagi enggak ada." Abia menjawab pelan.

"Sekarang kamu tau, 'kan? Sekarang bersihkan!"

Begitu instruksi dari sang mama terdengar, Abia tanpa protes menjalani titah Monica.

"Kaisar! Ayok kita nonton. Acaranya udah mulai ini."

Gadis itu memejamkan matanya pelan. Menguatkan diri akan sebuah hal yang sampai saat ini masih sempat menyelubung dengan kurang ajarnya.

Lo nggak boleh cemburu, Biya!

Sampai pekerjaannya selesai, Abia hendak kembali kalau saja tidak melihat Kaisar dengan tidak berdosanya kembali melempar bekas bungkus snack ke lantai yang telah bersih. Abia memberanikan diri menatap Kaisar protes.

"Abang, nggak bisa kah sampahnya dibuang ke bak sampah aja? Kenapa harus ngotorin lantai lagi? Biya capek, Bang, bersihin ini terus." Abia menegur.

Monica mendelik tak setuju.

"Hehh! Suka-suka dia dong. Makanya gunanya ada pembantu buat membereskan semuanya." Monica memberi pembelaan.

"Tapi aku Abia, Ma. Anak Mama. Bukan pembantu yang siang malam terus m
Mama suruh ini itu kayak budak." Suara Abia kali ini meninggi membuat Kaisar terpancing emosi.

"Jangan berani ngomong gitu yaa, sama Mama! Sejak kapan lo jadi kurang ajar gini dengan ngomong pake nada tinggi ke orang tua? Huhh?!" Kaisar meremas bahu Abia kuat membuat gadis itu meringis.

"Ya, Biya emang kurang ajar, Bang. Beda sama Abang yang kelebihan diajar sama Mama dan Papa sampai banyak tau apa-apa. Abang nggak pernah ngerasain rasanya ditatap serendah aku! Abang nggak pernah ngerasain gimana Biya benci sama diri sendiri karena harus dibandingin sama orang lain! Abang ... cuma tau gimana cara jatuhin orang tanpa tau duduk permasalahan sebenernya."

Abia sepenuhnya meledak. Meluapkan segala bentuk amarahnya lewat kalimat yang membungkam Kaisar dan Monica telak.

"Kenapa kalian nggak percaya sama Biya? Seburuk itu Biya di mata kalian? Kenapa masih biarin Biya hidup? Kenapa masih biarin Biya serumah sama kalian kalau kalian seenggak suka itu sama Biya? Kenapa enggak bunuh Biya aja daripada bales dendam atas kematian Ayah dengan nyiksa Biya secara perlahan?"

Tidak ada kalimat bernada amarah dalam kalimat gadis itu selanjutnya. Tapi, sorot kecewa dan nyalangnya berhasil membuat Monica kehilangan kata begitu saja.

"Kalau tau gue sama Mama seenggak suka itu sama lo, kenapa lo belum pergi dari sini? Masih punya muka' lo tinggal di rumah Ayah yang udah lo bunuh dengan tangan lo sendiri?!"

Kalimat sarkastik itu keluar dari mulut Kaisar. Membuat Abia mendongak menatapnya nanar. Dia sedang diusir, ya?

Benar juga. Jika sudah tahu sang Mama dan Abangnya setidak suka itu padanya, kenapa Abia masih santai memijakkan kakinya di sini? Dia itu pembunuh ayah 'kan? Mana pantas berada di sini bersama mereka---para kesayangan Bisma.

Nyeri lagi dan lagi menjalar di rongga dada. Apalagi menyadari mamanya yang tak sedikit pun peduli padanya. Kenapa perempuan itu tidak pernah mau menatap matanya lagi? Apa Abia memang semenjijikkan itu, ya?

Ia tidak bisa membayangkan jika sang Mama tau tentang penyakit yang saat ini dideritanya. Pasti perempuan itu akan lebih malu lagi pernah melahirkan orang sepertinya. Sudah jadi pembunuh, penyakitan pula.

Apa yang bisa diharapkan darinya kalau begitu?

Sudah jelas bukan? keduanya memang tidak mengharapkan kehadiran Abia lagi di antara mereka. Lantas, kenapa gadis itu dengan bodohnya masih berharap Monica menahannya.

"Okey, kalau gitu ... Biya pergi. Maaf selama ini jadi pengganggu di rumah ini."

Abia telah memutuskan. Lalu, dengan kaki luar biasa gemetar, gadis itu melangkah keluar rumah. Lebih tepatnya, mungkin tidak akan pernah kembali lagi.

Dia sudah tidak punya siapapun untuk dijadikan tempat bersandar lagi. Mamanya ... sudah bukan rumahnya. Perasaan sakit yang sempat Abia tumpahkan hanya pada perempuan itu, tidak ada artinya.

Segala penderitaan Abia bahkan tidak mampu sedikit pun menyentuh perasaan Abangnya. Abia memang sememuakkan itu rupanya.

Menghela napas mencoba menahan sesuatu yang bergemuruh di dada, Abia lagi-lagi mencengkeram dadanya. Menahan sesuatu yang begitu terasa nyeri di dalam sana.

Perasaan Abia benar-benar terluka. Menyadari keluarganya saja bahkan tidak menerimanya, apalagi orang lain? Lagipula, apa makna keluarga sebenarnya? Abia tidak pernah mengerti itu sejak dulu.

Keluarga bagi Abia adalah cambukan, pengungkapan sayang Ayahnya adalah cibiran. Sudah terlalu lama bersahabat dengan luka begini, kenapa tetap saja terasa sesak, ya?

"Biya emang orang paling menjijikkan, ya." Gadis itu menggumam miris. Masih berdiri di pintu utama rumah sembari menepuk dadanya yang semakin menyesak saja.

"Terus, kalau bukan ke Mama, Biya harus ngadu ke siapa dong? Selain ngadu ke Tuhan, Biya juga pengen didengerin sama manusia. Biya pengen tau rasanya dipercayai sebesar orang lain. Pantes nggak sih, pembunuh ini ngerasa kecewa?"

Menutup pintu utama rumah, Abia melangkah tapi justru kembali meluruh di halaman rumah. Kakinya bahkan gemetar hebat untuk sekedar berpindah tempat. Saking hebat nyeri di dadanya, Abia bahkan sampai tidak bisa berjalan dengan benar.

"Jangan nangis, Biya. Jangan nangis! Enggak papa, kamu enggak papa, kok. Ini ... pasti bakal berakhir, Biya. Jangan nyerah, tolong."

Abia terus menepuk keras dadanya. Mencoba menghilangkan nyeri yang terus mendera. Tapi, tetap tidak bisa. Justru air matanya entah sejak kapan malah mengalir deras.

Disusul isak pilunya yang kian menggila. Tapi, begitu hujan perlahan mengguyur, gadis itu berlari menjauh dan keluar dari gerbang rumah.

Dia harus segera berteduh. Kemana saja, asal bukan di rumah. Asal bukan di rumah yang sudah bukan rumahnya lagi.

Sekarang, Abia harus kemana? Siapa yang masih mau menampung gadis pembunuh sepertinya?

Menjejaki satu persatu langkahnya yang kehilangan tuju, Abia malah terkekeh miris. Tak ada air mata setetes pun yang meluruh dari matanya. Bahkan sorot berkaca pun tak ada.

Tapi, gadis itu sudah jelas lebih daripada terluka. Tak ada yang mau menerimanya. Orang sepertinya sama dengan onggokan sampah yang begitu kotor di mata orang-orang.

Bumi terlalu luas untuk ia singgah dan jejaki. Tapi kenapa tidak ada yang mau menerima gadis seperti dia?

Apa Abia sehina itu?

Kenapa dunia begitu kejam?

Kenapa Tuhan melempar Abia dalam drama naskah tak bertuan ini?

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ABIA  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang