"Bagaimana Tante bisa tenang, Biya? Kondisi kamu bukannya makin membaik malah makin buruk."
Abia menunduk dalam. Terlihat menyesal karena membuat sang Tante khawatir sekaligus marah karena tidak berhasil membuat kondisi keponakannya membaik.
"Maaf, Tante. Biya sudah berusaha," sesal Abia sembari menautkan jemarinya.
Cintya menghela napas kasar. "Berusaha apanya? Kamu datang check up saja tidak teratur. Minum obat apalagi! Gimana mau sembuh kalau kayak gini?" tanya Cintya frustasi.
"Maaf, Tante."
Dari sekian banyak kata yang ingin gadis itu ungkapkan, yang mampu keluar justru hanya permintaan maaf. Dia tidak ingin merepotkan Cintya lebih banyak lagi. Dia tidak akan mau membuat perempuan itu lebih banyak melakukan hal untuknya yang pembunuh dan tidak berguna ini.
"Tatap Tante, Abia!" Cintya mengangkat dagu gadis itu hingga membuat Abia mendongak dengan keadaan tidak siap karena matanya yang digenangi air mata.
"Kamu kenapa? Apa yang ganggu pikiran kamu? Kamu ada masalah apa? Tolong cerita sama Tante, Biya."
Tanpa dapat dicegah, perlahan, satu persatu bulir bening itu membasahi pipi tirus Abia. Dalam hati, gadis itu terus bertanya kenapa. Kenapa Tante Cintya harus sebaik ini padanya? Kenapa Abia tidak mampu menceritakan masalah yang tengah dihadapinya pada wanita itu? Kenapa bukan Mama yang memperlakukannya seperhatian ini? Kenapa bukan Monica yang takut kehilangannya?
"Abia enggak papa, Biya beneran enggak papa, Tante Cintya. Tolong percaya, mungkin Biya cuma capek aja. Makanya malah jadi gini," jelas gadis itu dengan suara bergetar.
Cintya menghela napas berat. Mungkin benar. Semenjak kepergian Bisma, mungkin gadis itu merasa masih terpukul. Tapi, Cintya tidak tahu saja, bahwa lebih dari kematian Ayahnya, Abia juga mulai dibenci Abang dan Mamanya. Saking bencinya sampai Abia diusir dari rumahnya sendiri.
"Mungkin emang bener sih, kamu kayaknya masih mikirin tentang kematian Almarhum Ayah kamu." Cintya mengelus puncak kepala Abia penuh sayang. "Tolong jangan terlalu mikirin hal itu ya, Sayang. Fokus sama kesehatan kamu, ikhlasin Ayah kamu. Sekarang 'kan, Biya tinggal fokus buat ngebahagiain Mama dan Abang kamu," lanjut Cintya lagi.
"Iya, Tante." Abia menyahut lirih. Padahal, dalam hati gadis itu berucap sedih, 'kebahagiaan mereka ada di kepergian Biya, Tante.'
"Jangan iya-iya aja, nyatanya enggak!" peringat Cintya tegas sembari berkacak pinggang di depan gadis itu.
"Hehe ... iya." Abia menyengir kikuk.
"Anak pintar!"
"Yasudah, Tante. Biya pamit pulang dulu, ya!" Abia hendak berdiri tapi Cintya menahan bahunya.
"Eit ... tunggu dulu. Nggak sabaran amat sih ish!" omel Cintya sembari berjalan dan mengambil sesuatu di mejanya.
"Buat kamu, Tante sengaja beli tadi sebelum sampai di sini karena yakin kamu bakal check up hari ini." Cintya menyodorkan sekresek plastik berisi sebuah kotak makanan yang Abia yakini berisi martabak telur kesukaannya.
"Makasih banyak, Tante." Abia tersenyum senang.
"Oh iya, Tante jam segini free. Seenggaknya temenin Tante ngobrol sebentar, Tante juga pengen denger keseharian kamu. Udah lama kamu nggak cerita," ucap Cintya sembari memangku dagu di hadapan Abia.
"Jadi ... gimana Mamamu dan Kaisar?"
"Baik, Tante. Mereka kayaknya sudah nggak terlalu sedih sama kematian Ayah."
'Buruk, Biya sampai bingung harus jelasin ke mereka gimana kalau Abia bukan orang yang bunuh Ayah.'
"Terus ... sekolah gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Novela Juvenil"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...