Lalu lalang kendaraan sore itu terlihat lebih lengang dari biasanya. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat selama Abia berjalan di sisi trotoar guna pulang ke kontrakannya.
Gadis dengan rambut terkuncir satu itu berjongkok sejenak di tepi trotoar. Kakinya lelah sekali, tubuhnya juga terasa remuk redam sehabis bekerja semenjak pulang sekolah hingga hampir maghrib begini.
Rasanya, dia hampir tidak bakal mampu berjalan sampai kontrakan saking lelahnya. Belum lagi pusing yang mendera, semakin menghambat langkah gadis itu yang memang sedari tadi terus tersendat.
Duduk di sebuah halte bus guna beristirahat sejenak, Abia menyelonjorkan kaki. Matanya memandang kosong kendaraan yang melaju kencang di jalan raya.
Sejujurnya, dia merasa lelah sekali dengan semuanya. Tapi, dia harus mengadu ke siapa? Siapa yang bakal mendengarkan keluhan orang sepertinya?
Tidak cukup lama duduk di halte, hujan mengguyur langit sore yang sedari tadi memang mendung. Abia baru saja akan tersenyum kalau saja tidak mendapati sepasang orang yang tidak ingin ditemuinya lagi berlari guna berteduh dan duduk di sampingnya.
Dia---Arya dan pacar barunya, memandang Abia aneh. Tapi, Abia memilih memalingkan pandangan. Kenapa harus bertemu lagi? Padahal Abia sudah terlalu malas menahan diri untuk tidak sakit hati saat melihat Arya dan pacar barunya lagi.
"Pakai jaket aku, ya. Biar kamu nggak kedinginan," titah Arya pada gadisnya yang sialnya malah mampu Abia dengar dengan sangat baik.
Meremas jemarinya hingga buku-buku jari memutih, Abia mencoba meredam gelegak tak mengenakkan yang menghantam dada. Seharusnya, Arya tidak perlu berperilaku manis pada orang lain di depan Abia. Setidaknya pria itu harus menghargai perasaannya yang bakal terluka.
"Jauhan, Arya. Jangan duduk terlalu deket sama dia, aku takut," sahut pacar Arya mempertebal jarak antara dirinya dan Abia.
Lelah menahan kesal, akhirnya Abia merogoh saku roknya. Di sana, Abia temukan selembar uang berwarna hijau. Tanpa berpikir lama, gadis itu memutuskan untuk menggunakan uangnya sebagai ongkos naik bus saja.
Tidak apa-apa malam ini dia tidak bisa membeli makan malam, asal detik ini perasaannya sedikit terselamatkan. Abia tidak mau berlama-lama ada di dekat Arya dan menyiksa dirinya sendiri. Abia sebisa mungkin harus menjauh dari pria yang seharusnya memang tidak pernah ia berikan hati kala itu.
Begitu sebuah bus berhenti di halte, Abia segera berlari masuk. Membiarkan Arya dan pacarnya di sana berdua. Terserah mereka akan melakukan apa. Abia tidak ingin peduli meski nyatanya selalu peduli.
Hari ini, dia sudah cukup lelah. Jadi, tidak ada waktu sekali rasanya untuk memikirkan hal seperti itu. Dia harus segera melupakan Arya Januar Malik.
****
Pagi ini, Abia terbangun kesiangan hingga hampir telat karena kelelahan. Beruntungnya, begitu memasuki gerbang utama, bel masuk berbunyi. Lalu, beberapa saat setelah Abia duduk di bangkunya, Bu Farida memasuki kelas.
Pelajaran berlangsung seperti biasa. Tidak ada hal yang cukup mengganggu Abia kecuali pusing yang mendera kepalanya. Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, tidak ada hal yang mampu gadis itu tangkap karena terganggu oleh nyeri yang menghinggapi kepala.
Karena terlalu sakit, Abia sampai memukul kepalanya sendiri saking kesalnya. Apa penyakitnya kambuh, ya? Tapi, Abia tidak membawa obat. Sudah lama ia tidak meminum obatnya karena pikirnya bakal boros sekali jika Abia terus meminumnya. Sebaiknya dia meminum jika kambuh saja. Sialnya, ketika saat seperti ini dia malah lupa membawa benda tersebut.
"Sssh ...." Abia meringis lirih. Mencoba meredam rintihannya karena sadar saat ini dia masih di kelas.
"Abia ... kamu masuk kelompok mana?" tanya Bu Farida tiba-tiba berjalan mendekati Abia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...