Begitu terbangun dari tidurnya, Abia menggigil kedinginan. Kepalanya terasa sakit membuat gadis yang baru saja hendak bangun dari posisinya itu kembali merebahkan tubuh terlentang.
Lalu, begitu cairan merah kental keluar dari hidungnya, Abia memekik tertahan. Sejurus kemudian menyusut darahnya dengan lengan baju putihnya.
Tidak ada rintihan atau ringisan kesakitan lagi seperti biasa. Seolah Abia sudah kehilangan kata untuk mengungkapkan atau sekedar mengekspresikan keadaannya.
Tetapi yang jelas, semuanya terasa menyedihkan.
"Mimisan mulu! Kapan gue matinya sih?!" Abia menggusah kesal.
Tak sadar kalimatnya adalah sebuah kesalahan besar. Abia sudah terlampau lelah dengan semuanya. Hingga untuk sekedar memilah kata, ia sudah kehilangan minatnya.
BRAKK ....
Pintu gudang tiba-tiba terbuka membuat Abia segera menyembunyikan tangannya yang dipenuhi noda darah ke belakang punggungnya. Di depannya, Monica berdiri dengan sorot dingin seperti biasa.
"Kenapa kamu enggak pernah keluar?!" Pertanyaan bernada menghakimi itu membuat Abia menghembuskan napas lelah.
Sebisa mungkin menahan gelegak menyesakkan yang menghimpit rongga dadanya. Apalagi ketika menyadari mamanya yang kini berpaling menjauhinya pula.
"Seharusnya kamu itu sedikit membantu di rumah ini. Jangan kerjaannya berleha-leha saja. Mulai hari ini, silakan bantu Bi Sumi membereskan rumah dan masak."
Perintah bernada tegas itu membuat Abia hanya diam menunduk. Bukan hanya karena tidak tahu harus menjawab apa, tapi juga sakit di kepalanya yang semakin terasa.
"Kamu denger saya, 'kan?!" Monica membentak lagi.
"Denger, Ma."
Begitu mendengar kalimat bernada tersendat Abia, Monica berbalik hendak pergi. Tapi, teringat sesuatu, wanita itu kembali berucap.
"Oh ya, dari kemarin kamu belum makan. Sana cepet makan! Seenggaknya saya nggak mau besok ada berita kalau saya bunuh anak sendiri."
Setelah mengatakan itu, Monica hilang di balik pintu. Tentu saja Abia hanya mampu memandang wanita yang kini terasa asing baginya itu dengan nyalang.
Perlahan, sorot sendu gadis itu jatuh pada telapak tangannya yang dipenuhi cairan merah kental dari hidungnya. Ya, beginilah Abia.
Hidup dalam gelimang luka seolah tak berhasil membuat Tuhan memberinya sedikit jeda. Setelah kesekian kalinya terjatuh, kapan ia akan lumpuh secara utuh?
Gadis itu sudah benar-benar lelah. Lalu, hari-hari menyedihkan yang sudah siap memporak-porandakannya kini seperti sudah siap membunuhnya secara perlahan.
Ternyata, lebih dari beratus cambukan yang diberikan sang Ayah semasa pria itu masih hidup dulu, dibenci sang Mama serta Kaisar begini terasa jauh lebih menyakitkan. Kapan semua penderitaan ini bakal selesai?
Sungguh, Abia merasa sangat lelah sekarang.
***
Abia terduduk di kursinya dengan napas tersenggal. Sahabat-sahabatnya yang melihat itu kontan menyodorkan sebotol air mineral yang langsung ditenggak olehnya.
Abia sangat lelah. Setelah membereskan rumah dan mendapat hukuman karena telat dengan lari keliling lapangan, gadis itu baru bisa masuk kelas.
"Lo habis ngapain, Biya? Kok bisa telat? Biasanya enggak pernah." Rindi bertanya bingung.
Abia hanya menjawab dengan menggeleng. Masih mengatur napasnya dengan kesusahan, gadis itu malah sempat-sempatnya mengeluarkan buku tugasnya.
"Gue kemarin belum ngerjain tugas Biologi. Ada yang bisa ngasih gue contekan?" tanya Abia cepat. Mencoba mengatur napasnya yang masih tersenggal.
"Lo bisa diem dulu nggak sih, Biya? Ini lo masih ngos-ngosan udah segala nanyain tugas aja." Raina mengomentari.
"Lo kok bisa telat sih, Biya?" Alea bertanya bingung.
"Gue ... ada urusan tadi di rumah. Makanya telat."
Setelah mengatakan itu, Abia menunduk. Sibuk mengerjakan satu persatu soal dalam bukunya dengan teliti. Sebisa mungkin menyembunyikan segala macam bentuk masalahnya dari keingintahuan keempat sahabatnya.
Menahan gemuruh tak mengenakkan yang kembali mendera dada, perempuan ini menghela napas berat. Mencoba menghalau cairan bening yang hampir meluruh di daratan pipinya.
Abia ... hanya tak ingin mereka mengetahui seberapa menyedihkan dirinya saat ini.
****
"Kenapa bisa mimisan lagi?" tanya Abia dengan raut rumitnya.
Matanya memandang pantulan bayangannya di cermin. Wajahnya hari ini terlihat mengerikan sekali. Kantung mata hitam dan besar. Pipi yang kian menirus. Serta bibir yang putih pucat.
Dia berantakan sekali. Seperti keadaan rumahnya, penyakitnya, juga perasaannya. Terus-terusan diteriaki dengan kata 'pembunuh' di rumah tentu saja bukan hal yang mudah bagi Abia. Bisa-bisa mental gadis itu terganggu jika di sekolah dia juga bakal mendapatkan perlakuan dan tuduhan yang sama.
"Tolong jangan nyerah, Biya. Kamu kuat! Seperti kata Arya, kamu yang paling kuat. Jangan pasang wajah sejelek itu. Ayo bangkit!" Abia menyemangati diri sendiri.
Keluar dari toilet dengan wajah yang sedikit lebih fresh karena sudah mencuci wajahnya, gadis itu tak sengaja melihat Arya tengah berdiri di ujung tangga dekat kelas 12. Raut wajah pria itu tampak gelisah. Membuat Abia tanpa pikir panjang segera mendekat guna bertanya.
"Arya, lo kenapa?" tanya Abia begitu berdiri di samping pria dengan pakaian berantakan yang tengah menumpukan lengan di pembatas tangga.
Pria itu menoleh kaget. Berikutnya mencoba mengontrol mimik wajah dan segera mengalihkan pandangan.
"Enggak pa-pa." Entah perasaan Abia saja, tapi suara Arya terdengar begitu dingin. Pria itu juga tidak tersenyum sambil menatapnya seperti hari biasanya.
Ada apa? Apa Abia sempat melakukan kesalahan pada pria itu? Tapi, bertemu dengannya setelah pulang dari camping saja belum.
"Lo ... keliatan kurang baik, Ar. Kena---" Kalimat Abia dipotong cepat.
"Gue ke kelas dulu, Metta."
Arya pamit berikutnya berlari menjauh. Meninggalkan Abia dengan raut bingung luar biasa. Makhluk itu kenapa jadi aneh begini?
Dia sedang ada masalah di rumahnya kah? Mengabaikan sikap aneh Arya, Abia memilih duduk sebentar di undakan tangga. Lagi dan lagi, Abia menghela napas berat.
Di saat keadaan hatinya seperti ini, padahal Abia ingin sekali mengobrol dengan Arya. Menceritakan berbagai hal pada pria yang sudah banyak mengetahui sisi gelap dari dirinya.
Tapi, sepertinya saat ini Arya sedang tidak bisa diganggu. Terlihat sekali kalau Arya sedang mempunyai masalah yang lumayan besar bahkan dari raut wajahnya. Caranya berbicara dengan Abia jauh berbeda.
"Bukan cuma aku, Arya juga lagi ngelewatin hari-hari menyedihkan mungkin. Kenapa aku harus nyerah? Arya aja keliatannya bisa ngelewatin semua, masak aku enggak sih? Gengsi dong!" monolog Abia mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Gadis yang hari ini menguncir satu rambutnya itu, tersenyum manis. Ketimbang meringis dan menangis lagi seperti sebelumnya, kali ini ia ingin mencoba menghadapi semuanya dengan lebih tegar dan lapang dada.
Abia ... hanya tidak ingin mengakui kalau saat ini dia merasa begitu terluka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...