Sedang Ingin Mengeluh

3.1K 234 0
                                    

Abia mengerjap pelan. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Begitu matanya mampu terbuka sempurna, terdengar pekikan tertahan seseorang.

"Biya sadar, Biya sadar!"

"Beneran?"

Mengabaikan grasak-grusuk di sampingnya, Abia memandang atap tenda kebingungan. Terlihat tak mengenal tempat dia berada saat ini.

"Lo di tenda darurat. Tenang aja," jelas Raina lembut.

Abia menoleh. Setelahnya tersenyum lega begitu menyadari ia sudah tidak lagi sendiri. Tapi ketidakhadiran seseorang yang sempat menolongnya tadi, membuat Abia melongok kesana kemari.

"Nyariin Arya yaa, Biya?" tanya Rindi sembari mendelik. Terlihat hendak marah seperti yang sudah-sudah bila sudah diungkitkan dengan nama playboy satu itu.

Abia memandang tak enak hati. Menyadari apa yang ditanyakan Rindi sepenuhnya benar. Tapi, mendengar kalimat Rindi setelahnya, membuat Abia sedikit merasa senang.

"Mulai sekarang, gue enggak papa kok lo deket sama Arya. Kayaknya dia juga enggak seburuk yang kita kira. Buktinya tadi dia yang paling heboh pas lo hilang. Dia juga yang nekad masuk hutan demi nyari lo. Dia kayaknya beneran suka sama lo deh."

Abia hanya diam. Menyadari Arya begitu khawatir ketika ia tidak ada, membuat pipinya tanpa sadar bersemu merah. Abia kontan menahan senyumnya.

"Tapi, jangan seneng dulu! Kalau dia nyakitin lo atau mainin hati lo suatu saat, bakalan gue sleding tuh orang. Awas aja!" Rindi kembali menimpali.

"Apaan sih lo, Rin? Bicarain Arya segala, Abia baru aja bangun dan lo udah ngomong sejauh itu?" Violyn bertanya heran.

"Bener tuh si Rindi, aneh!" Alea menimpali.

"Heh! Diem deh lo, siapa coba yang bikin Abia masuk hutan sendiri?" Raina melototi Alea yang dibalas cengiran gadis berhijab hijau toska itu.

"Gue kan enggak sengaja. Maaf yaa, Biya. Ehehe .... " Alea berucap tak enak hati sekaligus salah tingkah.

Ketiga gadis di depannya justru malah berteriak menyoraki. Abia hanya mampu tersenyum geli melihat tingkah keempat sahabatnya tersebut.

Dalam suasana dan keadaan apa pun, tiada waktu tanpa kerusuhan kalau mereka sudah bertemu. Sampai detik ini, ia heran, kenapa dia bisa berteman dengan empat makhluk absurd ini?

"Heh heh heh ... kalian ini mau jenguk Metta apa mau hancurin posko sih?" Suara cowok yang baru masuk ke posko tersebut berhasil membuat Abia menengok secara spontan.

"Arya."

Keempat sahabatnya kompak mencibir dengan gumaman tak jelas.

"Dari tadi aja diem, eh pas Arya dateng baru bisa ngomong, dia. Emang yaa, kalau orang lagi pacaran itu temen tiba-tiba menjelma jadi kacang." Alea mencibir.

"Kita nggak pacaran!" sanggah Abia cepat.

"Yaudah yaa, Biya. Gue sama ini anak tiga keluar dulu. Takut beneran jadi kacang ngeliat lo sama Arya mesra-mesraan di depan jomblo kayak kita-kita." Rindi pamit sembari menggeret tiga sahabat rempongnya keluar posko.

"Kita nggak pacaran, Rin. Ishh!" Kalau saja sedang dalam keadaan sehat, mungkin Abia sudah mengajak debat Rindi habis-habisan.

Setelahnya, empat gadis dengan jaket tebal itu sudah berlari keluar sembari cekikikan. Entah karena kalimat konyol Violyn, atau Raina yang dengan bodohnya malah tersandung kaki Alea.

****

"Lo enggak ikut yang lain, Ar?" Abia bertanya masih dalam posisi berbaring.

Mencoba mengalihkan pandangan dari tatapan menghunus yang dilayangkan Arya padanya.

"Jangan liatin gue gitu, issh! Gue nggak suka." Abia berucap kesal.

"Lo nggak bawa obatnya, kan? Ngaku lo!" Dan pertanyaan yang dilontarkan Arya sejurus kemudian membuat Abia bungkam.

"Jawab, Metta!"

"Enggak, males," jawab Abia terdengar tak berminat.

Jemarinya ia tautkan dengan kepala menunduk. Mencoba mencari kesibukan lain kecuali menatap wajah pria di sampingnya.

"Lo itu sakit, Metta. Tante Cintya udah ngasih gue kepercayaan buat jagain lo. Jadi jangan bikin gue khawatir dengan sikap kekanakan lo saat ini." Ucapan tegas Arya tidak mengganggu Abia sedikit pun.

Tapi, kalimat pertama pria itu, tepat menghujam jantungnya. Menimbulkan kesan tak mengenakkan yang justru membuat matanya berkaca-kaca entah karena apa.

Tentu saja, sesak mulai menghimpit dadanya. Perasaannya perlahan diliputi amarah yang Abia sendiri tidak tahu karena apa. Kesal saja diperjelas akan keadaannya oleh orang yang bahkan bukan siapa-siapa.

Abia bangkit duduk.

"Udah berapa kali gue bilang---" Kalimat Arya terpotong begitu Abia mulai berucap.

"Bisa nggak lo mandang gue sebagai cewek biasa? Bukan cewek penyakitan yang lo kenal selama ini? Gue benci tau nggak sih lo ngomong gitu. Gue itu enggak selemah yang lo pikir. Buktinya, gue masih bisa hidup sampai sekarang," teriak cewek itu terdengar frustasi. Nadanya penuh amarah namun diliputi keputus asaan.

Abia menyorot Arya dengan tatapan terluka. Terlihat tak terima dengan kalimat yang dilontarkan Arya sebelumnya.

Bahwa Abia memang tak sebaik yang dibayangkan. Abia tak sekuat yang orang lain kira. Abia justru jauh dari kata tangguh.

Ia sedang sangat ingin mengeluh. Jenuh dengan segala keadaan yang gadis itu hadapi hingga detik ini. Arya menelan ludahnya dalam diam. Seketika, kalimatnya tertahan di kerongkongan.

Tidak pernah Arya lihat Abia sefrustasi ini. Rasanya ... ia sudah mengatakan kalimat paling jahat pada gadis dengan sorot berapi-api di hadapannya.

Tanpa diduga, dengan gerakan pelan, Arya menarik Abia dalam dekapannya. Melesakkan kepala gadis yang kini sudah mulai terisak itu ke dalam rangkuman lengan.

Tangan kurus gadis itu memukul dadanya meski bagi Arya tidak terasa apa-apa. Tapi, isakan pilu Abia membuat perasaan Arya kembali ikut berdenyut ngilu. Sudah sejauh mana Abia terluka? Seberapa sakit sampai Arya bisa merasakan sakitnya juga?

"Gue benci sama diri gue, Arya. Gue benci hidup gue. Gue benci keluarga gue. Gue benci semua yang gue punya. Gue ... capek."

Arya memejamkan mata erat. Tak sanggup merasakan denyutan nyeri di dadanya bergitu mendengar suara parau dengan nada penuh keputusasaan gadis di dekapannya.

Bukan itu maksud Arya!

Arya berucap seperti itu bukan karena ingin membuat Abia mengingat segala hal menyakitkan yang ia punya. Arya hanya ingin gadis itu tidak lalai dalam mengurus diri.

"Gue percaya, Metta. Lo cewek kuat. Lo yang paling kuat."

Di dalam ruang hening itu, keduanya saling membagi luka. Membuka satu persatu topeng bahagia.

Lewat hangatnya genggaman tangan atau sekedar senyuman menenangkan, keduanya tak sadar sudah berjalan sejauh ini. Hanya beberapa minggu, sebuah ikatan tak kasat mata terjalin tanpa diduga.

Mungkin, namanya cinta. Dengan cara yang paling tak keduanya duga.




ABIA  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang