Abia luar biasa bersyukur karena hari ini sang pemilik kontrakan belum datang menagih biaya sewa kontrakan padanya hingga malam. Mungkin dia lupa atau memang sedang ada urusan.
Setidaknya, malam ini dia tidak akan bingung memikirkan harus tidur dimana di saat kondisi tubuhnya yang kembali drop entah karena apa. Abia ingin meminum obatnya tapi sudah habis. Ingin makan, dia juga tidak punya apapun untuk dimasak.
Terpaksa malam ini Abia harus terjaga hingga pagi karena kelaparan. Jika lapar, dia memang tidak bisa tidur nyenyak. Bahkan kadang, jangankan tidur nyenyak, memejamkan mata saja tidak bisa.
Pagi datang begitu terasa cepat membuat Abia segera bergegas mandi guna berangkat sekolah. Dia tahu tubuhnya sedang tidak cukup sehat untuk beraktivitas.
Tapi, Abia takut jika tidak pergi ke sana hari ini, esok dia tidak bisa merasakan yang namanya sekolah lagi. Sebab, Abia sadar sebentar lagi dia akan kehilangan kontrakan. Lalu, jika rumah saja ia sudah tidak punya, bagaimana dia bisa pergi bersekolah?
Menyeret langkahnya agar lebih cepat sampai ke sekolah dengan berjalan kaki, Abia memaksakan sunggingan senyum begitu tak sengaja melihat Arya membonceng pacarnya di jalan raya pagi ini.
Cowok itu sudah bukan urusannya lagi. Arya sudah bukan lagi hal yang bisa menjadikan Abia bersedih. Pria playboy itu ... terserah dia mau bertindak seperti apa atau mengganti pacar berapa kali seminggu.
Abia terus memberi sugesti pada diri sendiri agar tidak perlu mempedulikannya. Meski kenyataannya, tetap saja dia tidak bisa berbohong kalau terus terluka setiap melihat Arya dekat dengan pacar barunya.
"Terserah kek sama Arya, nggak peduli. Gue nggak akan pernah mau peduli lagi." Abia mendumel pada dirinya sendiri hingga sampai di depan gerbang SMA Nusa Bhakti.
Abia memasuki kelas dengan lebih cepat begitu mendengar bel masuk berbunyi. Duduk di bangkunya, gadis itu menyorot bangku kosong di pojok belakang penuh rindu.
Apa kabar Riko di sana? Apa menyenangkan ya, berkumpul bersama keluarga? Abia lupa rasanya, lagipula dia tidak pernah melakukannya juga. Bisma bahkan dulu malu mengakuinya sebagai anak. Jadi, jangankan mengajak berkumpul keluarga, menyebut namanya saja pasti dulu pria itu enggan.
Kegiatan belajar mengajar berlangsung beberapa menit kemudian begitu Bu Hartini memasuki kelas lagi seperti kemarin.
"Ayo sekarang kumpulkan tugas kelompoknya, ya!" perintah Bu Hartini yang kontan dipatuhi para murid.
Bu Hartini memeriksa beberapa makalah yang sudah diprint dan terjilid rapi. Begitu mengecek nama-nama anggota kelompok pada setiap makalah, perempuan itu menyorot Abia penuh selidik.
"Abia, kok nama kamu nggak ada? Bukannya kamu sekelompok sama Violyn dan 3 teman kamu yang lainnya?" tanya Bu Hartini yang dibalas Abia dengan gelengan.
"Enggak, Bu. Saya udah keluar dari kelompok mereka," jawab Abia tanpa wajah menyesal atau bersalah sedikit pun.
"Kenapa keluar?" tanya Bu Hartini tidak habis pikir.
"Dia tuh, Bu. Dia sendiri yang mau keluar," jawab Rindi cepat.
"Kalian yang minta gue keluar," jawab Abia santai.
"Kita nggak pernah nyuruh lo keluar, ya!" sanggah Violyn yang membuat Abia memilih diam.
Percuma berdebat dengan mereka. Tidak akan ada yang mempercayai Abia.
"Yaudahlah, saya yang salah. Maaf, Bu." Abia memilih segera mengakhiri perdebatan. Kepalanya sedang tidak cukup baik untuk memikirkan kalimat pembelaan untuk dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...