Setelah menghabiskan waktu camping selama tiga hari bersama teman-temannya juga Arya, hari ini Abia kembali ke rumah. Sedikit perasaan takut membayanginya. Sebab, dia memang tidak izin kepada Bisma. Sebab tentu saja dia tidak akan diizinkan.
Abia berjalan pelan. Menjejaki satu persatu anak tangga, hendak menuju kamarnya.
Tapi, teriakan menggelegar dari arah belakang, membuat gadis itu terdiam kaku. Tersadar sebentar lagi akan ada hukuman yang menanti.
"Dari mana saja kamu, Abia?! Sudah mulai berani keluyuran sana sini yaa, sekarang? Bahkan sampai nginep tiga hari." Ucapan bernada merendahkan itu hanya ditanggapi Abia dengan diam.
Saat ini ia tidak ingin berdebat. Ia baru pulang dari camping, dan Ayahnya sudah sangat siap dengan segala bentuk kemarahannya.
Abia lelah.
Setidaknya, sehari saja beri Abia kebebasan di rumah yang terasa seperti neraka ini. Entah dalam hal bertindak atau pun bersuara.
"Heh! Kalau diajak ngomong tuh tatap wajah orang yang ngomong sama kamu! Bukannya malah ngebelakangin saya. Dasar kurang ajar! Kayak nggak pernah dididik aja."
Abia menghembuskan napas berat. Mencoba mengontrol diri dari segala amarah yang hampir meledak tidak seperti biasanya.
"Bagus dong Ayah sadar, dari dulu kan Biya emang enggak pernah dididik. Kerjaannya cuma dipukul atau ditendang. Besok-besok, dibunuh aja sekalian."
Abia tak mengerti ada apa dengan dirinya hari ini. Tapi yang jelas, amarahnya tiba-tiba saja sangat cepat memuncak.
"Berani ngelawan yaa kamu sekarang. Siapa yang ajarin, huhh?! Makin ke sini kamu makin ngelunjak yaa."
Bisma terlihat menggertakkan gigi kesal. Abia bertanya-tanya, sejauh apa kesalahannya sampai ia harus dibenci sebesar ini oleh Ayahnya sendiri?
Tatapan Bisma, seolah menerangkan bahwa kehadirannya memang tak pernah diharapkan. Membuat mata gadis itu perlahan menyendu.
Menyadari sebanyak apa pun orang yang begitu menyayanginya, Ayahnya tak akan pernah mampu menerima kehadirannya.
"Ayah sebenernya ada masalah apa sama Biya? Apa Biya seburuk itu sampai Ayah sangat benci sama Biya? Biya salah apa, Yah? Apa dengan jadi bodoh Abia adalah orang terburuk? Apa dengan jadi bodoh Abia juga enggak bisa dapet perhatian Ayah sedikit pun? Apa dengan jadi bodoh Abia enggak boleh hidup juga?"
Gadis itu meledak. Mengungkapkan segala macam bentuk pertanyaan yang bercokol dalam kepalanya selama ini.
Bisma tertegun. Kontan terbungkam begitu menyadari sang putri perlahan menangis terisak di hadapannya.
Abia terduduk, tak mampu menahan berat tubuhnya sendiri. Perlahan, perempuan itu menangis. Menunjukkan pada Bisma sudah seberapa banyak pria itu menyakitinya.
"Ayah enggak tahu apa pun tentang Biya. Ayah nggak tau hari ulang tahun Biya, Ayah nggak tau Biya takut sama laut, Ayah nggak tau Biya kena kanker, bahkan ... Ayah juga nggak tau luka bekas pukulan Ayah kemarin belum sembuh."
"Tapi sekarang Ayah pasti udah mau pukul aku lagi. Seru banget kayaknya, ya, nyakitin Biya?"
"Biya emang bodoh, Yah. Biya yang terburuk di antara semua anak saudaranya Ayah. Biya udah belajar semampu Biya. Tapi Biya emang bodoh. Enggak bisa apa-apa. Pantes Ayah benci sama Biya. Kalau emang kehadiran Biya terlalu memberatkan buat Ayah, bunuh aja Biya, Yah. Bunuh Biya aja!"
Bisma masih tak berkutik. Tangannya berpegang pada penyangga tangga. Tak sanggup melihat putri kecilnya kini terlihat begitu hancur lebih daripada ketika puluhan cambukan atau tendangan mendarat di tubuh ringkihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...