Abia pulang dari kafe dengan berjalan kaki seperti biasa. Hari ini adalah hari gajiannya, jadi gadis itu akan membeli mie instan untuk cadangan beberapa hari ke depan. Abia mengambil gaji seminggu sekali jadi gajinya tidak cukup untuk membeli sesuatu yang cukup mahal sebagai cadangan makanan.
Memasuki minimarket, Abia langsung beranjak ke rak di mana mie instan dengan berbagai varian rasa terpajang. Gadis itu tidak sadar, di rak belakangnya, ada Kaisar yang tengah mencari camilan untuk dimakan.
Sebelumnya, Abia tidak pernah cukup menyukai mie instan. Bahkan gadis itu tidak bisa sarapan dengan mie. Kalau saja semenjak tinggal sendiri, Abia terpaksa harus memakan apa yang ada tanpa bisa memilih masakan apa yang mampu lambungnya cerna.
Abia juga tahu terlalu sering memakan mie tidaklah baik. Tapi, lagi dan lagi mau bagaimana lagi? Hanya itu pilihan yang gadis itu punya untuk bertahan hidup hingga saat ini. Jika membeli bahan masakan lain, tentu saja akan lebih mahal dan Abia juga tidak punya bumbu dapur apalagi perabot masakan.
Yang mampu gadis itu beli hanya beberapa gelas, tiga piring dan dua mangkuk, tiga sendok dan satu wajan. Harga tabung gas juga lumayan mahal sehingga Abia mencoba sehemat mungkin agar tabung gasnya tidak cepat habis.
"Kalau lihat mie ini, jadi inget Bang Kaisar." Abia menggumam sembari memandangi sebuah mie instan rasa soto yang dulu pernah Kaisar masakkan pertama kali untuknya.
Abia ingat sekali bahwa itu adalah pertama kali Kaisar mau memasak. Hasilnya tentu saja terlalu jauh dari ekspektasi untuk ukuran makanan instan seperti mie. Dengan tekstur mie yang sangat lembek, kuah yang kebanyakan serta plastik bumbu yang hampir ikut tertelan, Abia tidak bisa untuk tidak tertawa jika mengingat semua itu.
Kaisar memang yang paling buruk soal memasak mie.
Baru saja akan mengambil mie instan rasa soto yang biasa dibelinya tersebut, sebuah tangan lain ikut memegangnya. Abia terlonjak, apalagi begitu mengenali tangan, bau parfum serta gelang yang dikenakan cowok itu.
Tidak berani menoleh, Abia justru merasakan tangannya gemetar entah karena apa.
"Eh ... kamu duluan yang ngambil, ya? Maaf, silakan diambil." Abia semakin merasa gemetar begitu suara yang sangat dihapalnya tersebut menyapa indra pendengaran.
"Eng ... nggak papa. Nggak jadi," sahut Abia bergetar berikutnya hendak berlalu.
Tapi, tangan Kaisar menahan lengannya erat. Abia memejamkan mata. Merasa belum cukup siap bersitatap dengan sang Abang.
"Kamu siapa?" tanya Kaisar curiga membuat Abia semakin mempertahankan pijakannya.
Menyadari gadis di depannya yang malah diam, Kaisar membalikkan tubuh Abia paksa membuat sang adik tepat menghadapnya.
"B-Biya?" gumam Kaisar sampai tidak sadar menangkup pipi sang adik.
Tapi, menyadari apa yang dilakukannya, Kaisar melepaskan tangan dari pipi gadis itu. Abia tersenyum getir dengan tatapan terluka.
Segera menghindar dan mengambil asal mie instan yang ada di dekatnya, Abia segera menuju kasir, membayar kemudian keluar minimarket. Kaisar masih mematung di pijakannya. Tidak menyangka akan bertemu Abia di sini.
"Biya ... masih hidup, ya?" gumam Kaisar masih belum sadar dari keterkejutannya.
Kaisar mengepalkan jemarinya kuat. Menahan gemuruh tak mengenakkan serta letupan aneh yang memenuhi dada. Dia lega adiknya rupanya masih hidup dan berada di sekitarnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa ia merasa amat senang karena dapat melihat wajah manis gadis itu lagi.
Tapi, ada yang berbeda. Abia terlihat lebih kurus dan tirus dari terakhir Kaisar melihatnya. Gadis itu juga jadi kelihatan lebih rapuh dari yang Kaisar kira. Sorotnya dipenuhi kecewa dengan tatapan nanar yang terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...