Kepergian Bisma

3.8K 243 2
                                    

Abia tak percaya akan secepat ini. Padahal, baru kemarin Ayahnya dilarikan ke Rumah Sakit.

Tapi sekarang, Bisma sudah dikebumikan. Bisma ... telah meninggalkan Abia, Kaisar dan Mamanya. Bisma tak terselamatkan.

Ayahnya sudah pergi.

Dan kesalahpahaman itu, sebentar lagi akan menghancurkan Abia tanpa henti. Terbukti seperti saat ini.

Masih dengan pakaian serba hitamnya selesai menghantarkan sang Ayah ke peristirahatan terakhir, Abia melangkah gontai menuju pintu kamarnya. Perasaannya masih terlalu campur aduk sampai membuat gadis itu linglung.

Tapi, belum sempat membukanya, pintu kamar sudah terbuka sendiri. Di ambang pintu, kakaknya berdiri dengan sorot dingin sembari menenteng dua tas besar. Dan Abia sadar kalau itu semua adalah barang-barangnya.

"Silahkan keluar dari rumah ini!" Ucapan tanpa riak itu membuat Abia mendongak tak percaya.

"Maksud Abang apa?" Abia bertanya bingung.

"Masih belum jelas? SILAHKAN KELUAR!" Abia terlonjak kaget mendengar teriakan Kaisar.

Gadis itu sampai termundur karena terkejut.

"Kenapa masih berdiri di sini? Setelah bunuh Ayah, masih punya muka lo buat tinggal di sini?"

Abia menggeleng pelan. Air matanya meluruh kembali. Merasa tak terima dengan segala bentuk tuduhan yang Kaisar lontarkan.

"Biya enggak salah, Bang. Biya enggak bunuh Ayah!" Baru saja Abia akan menarik lengan Kaisar, pria itu menepis tangannya keras.

"Gue enggak peduli. Sekarang mending lo pergi dari sini. Enek gue liat muka' lo."

Hati Abia berdenyut ngilu. Ia muali sadar bahwa Kaisar sudah kehilangan peduli padanya. Bahkan sudah terlanjur membencinya.

"Sekarang cepet---,"

"KAISAR!" Teriakan Monica dari ujung tangga, membuat keduanya menoleh.

Abia tersenyum penuh harap. Setelahnya berlari ke arah Mamanya.

"Mama ... mama percaya kan, kalau Biya enggak ngelakuin itu? Mama percaya kan kalau Biya enggak bunuh Ayah?"

Bukannya menjawab, Monica hanya diam dengan sorot dinginnya. Bahkan meliriknya pun Monica seolah enggan.

"Mulai sekarang kamu tidur di gudang, Abia." Ucapan dengan nada tegas dan memerintah itu membuat Abia mendongak.

"Kenapa, Ma?" Abia bertanya tak percaya.

"Setelah melakukan semuanya, seharusnya enggak ada alasan untuk kamu nanya kenapa. Seenggaknya kamu bersyukur saya masih kasih kamu menginjakkan kaki di rumah ini." Kalimat itu, sukses membungkam Abia.

Percuma saja!

Tidak ada yang mempercayainya. Abia adalah yang terburuk di mata semua orang. Bagi mereka, Abia ... hanya seorang pembunuh.

Tidak melakukan penolakan ataupun menyanggah lagi, Abia berjalan pelan menuju gudang. Mengambil barang-barangnya dari tangan Kaisar setelahnya menutup pintu gudang perlahan.

Sampai suara tapakan kaki Kaisar dan Mamanya sudah terdengar menjauh, Abia meluruh. Gadis itu bersandar pada pintu gudang sembari mati-matian menahan isak.

Salah Abia sebenarnya apa? Kenapa kebahagiaan tidak pernah sedetik pun menyertainya? Kenapa Abia ditakdirkan ada di antara mereka?

"Biya harus apa biar kalian percaya? Kenapa kalian enggak pernah adil? Biya bukan pembunuh! Biya enggak seburuk dan sejahat itu."

Dalam ruangan tanpa cahaya itu, Abia kehilangan harapannya. Sosok keluarga bahagia yang selalu ia impikan sejak lama, sudah terlalu jauh untuk digapainya.

Abia lelah. Abia tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi agar sedikit terlihat benar di mata mereka.

****

Kaisar luar biasa khawatir. Sejak kemarin pagi hingga pagi ini, Abia tak pernah sekali pun keluar dari kamar atau lebih tepatnya gudang.

Makan pun Abia sepertinya tak pernah sama sekali. Kenapa gadis itu belum keluar sampai saat ini? Biasanya, dia adalah orang pertama yang akan menggedor kamar Kaisar untuk membangunkan pria itu.

Setelah berperang cukup lama dengan egonya, Kaisar memilih membuka pintu gudang pelan. Setidaknya hanya untuk memastikan keadaan adiknya.

Begitu pintu gudang terbuka, gelap mendominasi. Suasana suram menyeruak membuat Kaisar termangu di ambang pintu.

Pencahayaan hampir tidak ada di ruangan sempit ini. Banyak sarang laba-laba juga. Tak terkecuali barang-barang tak terpakai yang menumpuk di berbagai sudutnya.

Bagaimana Abia bisa bertahan seharian di tempat semenyedihkan ini?

Begitu ia menemukan sang Adik tengah berbaring menyamping di atas lantai dingin dengan beralas tikar plastik tipis, hati Kaisar tersenyuh. Sesuatu seolah meremas jantungnya.

Menalu dadanya kuat dengan cara paling menyakitkan. Menunjukkan seberapa tak pantasnya ia menjadi seorang kakak yang seharusnya melindungi adiknya.

Dengan kaki sedikit gemetar, Kaisar mendekati Abia yang sepertinya tengah tertidur pulas. Tapi, begitu racauan gadis itu terlontar, Kaisar kembali diam.

"Biya bodoh! Biya yang terburuk! Biya pembunuh! Maafin Biya, Bang. Biya salah."

Mata gadis itu masih terpejam, tapi sisa-sisa air mata dan mata sembabnya mampu pria itu lihat. Lagi ... Abia berhasil membuat air dari sudut mata Kaisar keluar tanpa dapat ia cegah.

Kaisar sadar apa yang ia lakukan saat ini adalah salah. Tapi, egonya yang tak terima akan kepergian sang Ayah membuatnya melakukan sedemikian rupa.

Tak sadar apa yang ia lakukan saat ini, bisa saja membuat Abia kehilangan percaya atas dirinya.

Dengan tangan mengelus surai kelam gadis itu lembut, Kaisar membisikkan sebuah kalimat di telinga Adiknya.

"Abang sayang kamu, Dek. Tapi Abang benci kamu terlibat atas kematian Ayah."

Begitu kalimat lirih itu terucap, Kaisar memilih berjalan keluar gudang. Meninggalkan Abia yang tak disadari
Sedari tadi terjaga dan mendengarkan semua.

Abia mengusap cairan bening yang entah sejak kapan mengalir dari sudut matanya. Kaisar masih menyayanginya, ya? Rasanya ... hanya dengan mendengar fakta itu saja, perasaan Abia begitu diliputi kelegaan yang luar biasa.

Di antara sekian banyak masalah yang menimpanya, sedikit tidaknya Abia sadar bahwa Kaisar tidak pernah benar-benar membencinya. Abangnya masih orang yang sama. Orang pertama yang bakal selalu melindungi Abia dalam kondisi apapun.

"Biya juga sayang Abang. Tapi Bang Kai nggak pernah mau percaya kalau Biya sayang Ayah juga," guman gadis itu lirih.

Mengingat sang Ayah, mata Abia justru kembali berair. Gadis itu memukul kencang dadanya dengan kepalan tangan. Merasa kesal dengan sesak yang menghimpit rongga dadanya hingga membuat Abia bernapas saja bahkan kesusahan.

Tidak peduli sekasar apa Bisma, sebrutal apapun pria itu memukulnya, atau sepedas apa tatapan serta kalimatnya ketika berhadapan dengan Abia, Ia tidak pernah merasa cukup mampu membenci sang Ayah. Karena bagaimanapun, mereka keluarga.

Bisma Ayahnya. Tanpa dia, mungkin Abia tidak akan terlahir di dunia. Bagaimanapun juga, ia juga tidak pernah bakal punya niatan untuk balik menyakiti pria itu meski Abia diperlakukan sebaliknya.

"Ayah ... maafin Biya, maaf karena jadi putri yang gagal buat Ayah. Maaf sudah bikin Bang Kaisar dan Mama kecewa. Maaf ... maaf karena Biya malah bunuh Ayah dengan tangan Biya sendiri." Tanpa dapat dicegah, isakan pilu gadis itu menggema di penjuru gudang yang gelap.

"Meski emang nggak sengaja, tetep aja Biya ini pembunuh 'kan, Yah?"

ABIA  [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang