Cita-cita

886 73 0
                                    

Sebenarnya cita-citaku dulu sederhana. Menjadi seorang ibu. Tidak seperti teman-temanku saat ditanya kelak ingin menjadi apa, mereka menjawab ada yang ingin menjadi dokter, pramugari, guru, pengacara, polisi, tentara dan sebagainya. Bagiku menjadi ibu sebuah cita-cita yang sederhana namun luhur dan mulia yang semua perempuan normal bisa mewujudkannya.

Tapi aku melihat kenyataan, bahwa untuk menjadi seorang ibu tidak sekedar keinginan saja. Terutama seorang ibu yang bisa mendidik anak-anaknya agak kelak bisa menjadi cerdas dan hebat. Seperti halnya ibuku. Meski hanya sebagai ibu rumah tangga biasa yang punya sambilan menerima jahitan di rumah, ternyata ibu dulunya juga kuliah. Ah, tak kusangka ibu seorang sarjana.

Pantas saja ibu tidak pernah canggung ketika bertemu dengan siapapun. Ibu juga selalu percaya diri ketika berhadapan dengan langganan yang berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari ibu rumah tangga biasa bahkan istri seorang kepala dinaspun dihadapi dengan tenang saat datang ke rumah untuk mengambil jahitan.

Apa karena ibu sarjana? Karena itu ibu selalu bisa menghadapi pelanggan yang kadang sulit menerima kekurangan hasil jahitan walau itu kecil dan nggak terlihat. Ibu selalu sabar menghadapi kebawelan mereka dan segera menyelesaikan masalah dengan cekatan.

"Seseorang harus punya prestasi atau ketrampilan dan juga nama baik, Ai. Dengan begitu orang akan menghargai kita," nasehat ibu lembut padaku waktu aku tanya sikap ibu yang selalu tenang dan santai menghadap bermacam perilaku orang-orang.

Apa begitu? Aku meragukan jawaban ibu. Bagaimana aku bisa seyakin ibu dan bersikap sekuat ibu dengan latar belakangku sebagai anak pungut dan diketahui semua orang di kampung? Memang ada yang memperlakukanku dengan baik dan ramah sebagaimana mereka bersikap di hadapan ayah dan ibu. Tapi ada juga yang tidak. Mereka mencetus ucapan nyelekit di belakangku seraya mengungkit-ungkit asal muasalku sebelum ibu memungutku.

Ibu bertemu ayah saat mereka sama-sama kuliah di kampus yang sama. Dan hubungan romantis mereka berlanjut hingga ke jenjang pernikahan.Yach, berarti aku harus kuliah setelah lulus nanti. Tapi meski aku harus kuliah, aku tidak ingin bertemu jodohku di kampus, seperti halnya ibu dan ayah.

Aku suka mas Pijar sejak dulu. Sebelum haid pertamaku datang aku sudah punya perasaan kagum padanya. Semakin hari, rasa suka dan kekagumanku berkembang menjadi tunas cinta yang tumbuh di dalam hatiku. Semakin dewasa aku semakin menginginkan laki-laki seperti dia dalam hidupku. Padahal kami jarang bertemu. Paling kalau lebaran, atau saat liburan sekolah kami bertemu dan berkumpul di Jogja dengan keluarga besar ibu yang tinggal di Jakarta. Di situlah aku bertemu mas Pijar dan saudara-saudara lainnya.

Dia adalah cucu kebanggaan bagi eyang kakung dan eyang puteri. Dia cucu yang pertama yang lulus sarjana di antara cucu-cucu yang lain dan dia adalah pewaris perusahaan milik papanya. Meski jarang sekali bicara denganku, aku cukup senang bila melihat dia di kejauhan saat terlihat mengusili saudara-saudara cewek yang lain. Bahkan sekedar merasakan sekilas sekelebat bayangannya saja aku sudah senang. Meski hanya anak angkat, aku ingin suatu saat mas Pijar melihatku sebagai perempuan yang layak mendampinginya.

Tapi kedatangannya malam itu menghancurkan hatiku. Mas Pijar tentu saja tidak menyadari perasaanku terhadapnya. Tidak seorangpun boleh tahu. Aku merahasiakan dari siapapun. Dari ayah dan ibu sekalipun. Luluh lantah perasaankupun akibat cinta sepihak dan retaknya hatiku juga tak ingin aku perlihatkan pada siapapun.

Alifa. Bayi merah itu telah menguatkan aku. Tangisannya yang keras malam itu sepeninggal mas Pijar seakan mengeringkan lukaku. Menyadarkanku untuk terus bertahan dengan luka yang kuderita dan menjalani kehidupan sebagaimana yang telah digariskan. Mas Pijar bukan jodohku. Itu kenyataan yang paling harus aku pahami dan yang harus aku jejalkan setiap kali ke dalam pikiranku.

Sebagaimana nasibku, Alifa juga tidak bisa berkelit dari takdir yang menjatuhkan dirinya ke tangan ayah dan ibu angkatku dan hidup di bawah perawatan dan bimbingan keduanya seperti halnya aku.

Setelah enam bulan Alifa sudah bisa tengkurap dan menggelundung ke sana kemari. Aku seringkali menidurkannya di lantai karena nggak ingin dia jatuh dari tempat tidur saat aku tinggal keluar kamar. Dan ibu mulai memperkenalkannya dengan makanan tambahan selain susu formula. Bubur nasi, bubur roti, juga jus buah. Aku selalu memperhatikan segala perlakuan ibu pada Alifa. Dan suatu ketika aku ingin bisa melakukan sendiri apa yang ibu lakukan untuk Alifa, tanpa harus mengganggu ibu saat sedang menjahit. Apalagi ibu harus segera menyelesaikan beberapa jahitan dibantu bu Sumi, asistennya Karena itu aku biasa menggantikan peran ibu untuk Alifa. Menyuapinya, memandikannya, mengajaknya bermain juga menidurkannya, di sela-sela kesibukanku belajar dan sekolah.

Siang itu aku pulang dari bimbel dan cuaca di luar yang panas menyengat membuatku segera mengguyur tangan dan kakiku di kamar mandi, lalu mendekati ibu yang dengan telaten menyuapi bayi mungil menggemaskan itu di ruang tengah.

Alifa sudah sangat mengenaliku. Begitu melihatku dia sangat senang dan langsung bersemangat dengan melonjak-lonjak di kursi makannya. Ibu kadang sampai harus mengikatnya saking takut dia terpelanting. Karena gerakan tangan dan tubuhnya kuat banget.

"Apa ibu dulu juga memperlakukan aku kayak Alifa?" tanyaku pada ibu sambil memegangi lengan bocah itu.

Ibu tersenyum sambil matanya agak menerawang seperti mengingat saat-saat bayiku dulu. "Tapi kamu lebih anteng dan jarang nangis. Kalau dia ... " ibu geleng-geleng sendiri. "Persis kayak kecilnya Pijar. Pecicilan nggak bisa diam. Telat ngasih susu, telat kasih makan sebentar saja dia pasti ribut. Nangis sekencang-kencangnya," gumam ibu setengah ngomel, setengah menggerutu.

Aku tertawa mendengar penuturan ibu. "Sini, Bu, biar aku yang nyuapin dia!" kataku selalu tak sabar untuk menggantikan peran ibu untuk Alifa.

Aku selalu ingat betapa besar jasa ibu padaku. Aku takkan pernah bisa membalasnya. Kalau ibu tidak mengambil diriku yang terlantar ditepi jalan, entah bagaimana nasibku. Kalau ingat itu aku jadi ingin nangis. Seperti merasakan gejolak dalam hatiku, ibu meraihku dengan sebelah tangannya. Terasa ciuman lembutnya di pucuk kepalaku. Dan aku menikmati aliran kasih sayang yang melimpah lewat sentuhannya itu.

Ibu pernah cerita. Mas Pijar juga sempat mendapat perawatan ibu sampai umur empat tahun. Waktu melahirkan kondisi mamanya sedang sakit parah dan meninggal beberapa lama setelah melahirkan mas Fajar. Papanya mas Fajar menyerahkan bayi itu pada adik perempuannya yaitu ibu untuk dirawat. Karena pakde Suryo nggak mungkin mampu merawat seorang bayi yang baru lahir, lagi pula ia harus bekerja mengelola perusahaan miliknya.

Saat mulai masuk TK mas Fajar diambil oleh papanya yang waktu itu sudah menikah lagi. Tapi sampai beberapa tahun mas Fajar bolak-balik ke rumah ibu karena merasa lebih nyaman tinggal dengan ibu ketimbang dengan ibu tirinya. Setiap kali papanya menjemputnya ibu harus membujuknya terlebih dulu. Dan selalu ada drama perpisahan yang menyedihkan saat ia akhirnya harus pulang ke rumahnya sendiri.

"Cuci tangan dulu!" suruh ibu sebelum memberikan piring bubur itu.

"Sudah. Tadi baru datang langsung cuci tangan."

Ayah dan ibu terlihat begitu bangga ketika akhirnya aku berhasil lolos ke perguruan tinggi negeri. Aku bersyukur dengan keberhasilanku itu. Tidak sia-sia aku belajar keras siang malam. Aku tidak ingin mengecewakan ayah dan ibu. Kupikir, itulah salah satu cara membalas kebaikann mereka kepadaku.

Sementara Alifa tumbuh menjadi anak yang cantik, cerdas dan fisik yang sangat sehat. Sebelum umur setahun, dia sudah jalan wira-wiri dari depan rumah hingga dapur. Belum dua tahun ngomongnya udah ceriwis, kayak burung betet dan bikin pusing setiap kali mendengar ocehannya. Apalagi kalau sudah merajuk, minta sesuatu tapi nggak segera dituruti dia akan ngambek dan ngamuk. Nangis sekerasnya. Dan tanpa aku sadari aku sudah merefleksikan diriku untuk menjadi seorang ibu baginya.

Sejak bayi dia tidur sekasur denganku. Awalnya ayah dan ibu keberatan karena malam hari aku pasti begadang. Sementara pagi aku harus sekolah. Awalnya memang berat kalau semalam harus dua tiga kali bangun. Tapi lama-lama aku terbiasa. Membuat susu dengan mata merem sudah biasa aku lakukan. Makan, mandi, bermain, tidur dan belajar sama aku. Aku tak ubahnya ibu baginya.

Aku dan ibu mengajarinya memanggilku mbak Ai. Tapi Alifa kecil malah mengucap sepotong panggilan untukku, "Maaa ..."


Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang