Mendadak Galau

192 15 0
                                    

Di tempat duduknya kulihat mas Pijar menoleh saat mendengar salam. Dan pandangannya terpaku pada kedatangan kami bertiga. Sementara ayah dan ibu langsung menyambut Alifa. Ayah menggendongnya dan ibu menanyai banyak hal padanya. Dari bibir mungilnya Alifa bercerita dengan kalimat yang terpotong-potong. Saat naik ke puncak Monas hingga saat melihat rusa dan memberi makanan pada hewan lucu itu.

"Aku besok mau ke sana lagi sama papa I am," ocehnya

Di dapur aku membuka tas dan mengeluarkan sisa makanan dan mencuci sendok, piring dan gelas yang kami pakai makan tadi. Risih rasanya mendengar panggilan itu. Papa I am? Entah bagaimana reaksi ayah dan ibu. Aku pura-pura tidak mendengar dan sibuk menjerang air, membuatkan kopi untuk I am.

"Jadi kamu tadi dari Monas, Ai?" tanya mas Pijar saat aku mengeluarkan kopi dan meletakkannya di atas meja.

"Iya. Alifa kelihatan seneng banget tadi," jawabku sambil ikut duduk. Kulihat I am sibuk dengan handphone-nya tanpa berusaha ngobrol atau membuka percakapan. "Am, minum kopinya!" kataku sengaja mengalihkan perhatiannya.

"Hemm."

Mendengar sikapnya yang cuek aku ingat saat ia mendengar dari Mita waktu mas Pijar mengajak aku dan semuanya ke restoran. Dan entah bagaimana aku bisa menghentikan rasa cemburunya kali ini, saat menyadari mas Pijar duduk selangkah dariku dan pandangannya tak henti menyorot ke arahku sejak aku muncul di tengah mereka.

"Ai, kamu sudah dengar akan ada pertemuan keluarga?" suara mas Pijar memecah kekakuan di ruang tamu.

"Iya. Waktu itu bude Ningsih sudah nelpon sama ibu, ngasih tahu acara ke Jogja itu. Emang semuanya pada mau datang, Mas?" tanyaku mengingat aku sudah beberapa tahun nggak pernah ikut ke acara keluarga ibu.

"Iya. Kamu kamu harus datang, Ai."

"Inshaa Allah."

"Kamu mau berangkat bareng aku?"

I am langsung menoleh ke arahku. "Yang pasti aku pasti bareng ayah dan ibu."

"Iya, maksudku aku juga akan bareng bulik sama om Hari dan juga Alifa."

"Gimana nanti, lah."

"Emang kamu harus pergi ke Jogja, Ai?" tanya I am menatapku murung, seolah ingin menahanku pergi.

"Iya. Karena itu adalah acara keluarga. Jadi Ai harus berangkat ke Jogja," sahut mas Pijar.

"Padahal aku berencana mau mengajakmu ke Surabaya liburan nanti."

Aku tertegun. Ke Surabaya? Gumamku dalam hati.

"Aku ingin kamu ketemu mama," lanjutnya dengan wajah penuh harap.

"Apa? Ke Surabaya? Mana boleh Ai pergi ke Surabaya? Emang dia apa kamu sampai akan mengajaknya ke Surabaya?" mas Pijar langsung berusaha mencegah niat I am.

"Ai pacarku, Mas. Sejak kecil dulu, sampai sekarang dan sampai kapanpun dia milikku," jawab I am dengan gusar.

Dari sudut mataku mas Pijar mengerutkan dahi meyakini ucapan I am seraya menatap kami bergantian. "Jadi kalian pacaran?"

"Ya!"

Berlawanan dengan sikap mas Pijar yang santai, I am terlihat begitu keras lagi sengit. Aku diam-diam menghela nafas berharap tak terjadi hal apapun di antara mereka.

"I am!" seruan Alifa menyeruak di tengah ketegangan di ruang tamu. Anak itu datang dengan membawa buku cerita di tangannya. Dengan entengnya dia naik ke pangkuan I am seraya memperlihatkan gambar di dalam buku kesayangannya.

"Ini kancil," kata Alifa memberitahu sambil membuka lembar demi lemabr halaman bukunya.

"Kok kayak rusa yang tadi kamu kasih maem wortel, ya?" tanya I am.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang