Nyeri Luka

320 22 1
                                    

Hanya mengingatkan, jangan lupa follow, tekan vote dan berikan ulasan ceritaku lewat komentar biar aku tahu, seberapa bagus ceritaku, atau seberapa jelek tulisanku. Dan nantinya aku bisa melakukan perubahan yang lebih baik pada cerita maupun tulisan.


___


Aku berusaha menerapkan sebuah sikap yang diajarkan ibu padaku. Bahwa aku harus ikhlas. Bahwa ketika kita kehilangan sesuatu, sesungguhnya Allah sudah menyiapkan penggantinya. Aku baru meresapi makna dari nasehat ibu sembari mengabaikan luka di hatiku yang kembali membengkak. Sambil menahan denyut nyeri di dada, kupercepat langkah menuju kelas untuk mengikuti kuliah yang sudah hampir dimulai. Kuharap aku tiba tepat waktu sebelum dosen menutup pintu dan tidak mengijinkan mahasiswa terlambat masuk dengan alasan apapun.

"Kamu tadi ke kampus sama siapa, Tar? Aku lihat kamu naik mobil sama cowok?" tanya Mita langsung begitu ketemu.

Aku sampai terkejut. Bagaimana Mita bisa tahu aku naik mobil dengan mas Pijar? Padahal aku sengaja turun beberapa puluh meter sebelum gerbang kampus. Lalu aku jalan santai dari depan sana sampai ke gedung perkuliahan, untuk membuang rasa galau yang melingkupiku.

"Hayo, ngaku! Kamu sudah keciduk, tahu nggak?" Mita memaksaku mengaku, membuatku tak mampu berkutik lagi.

Aku memaksa tersenyum menanggapi cecarannya.

"Ah, aku tahu sekarang!" tangannya memukul meja ketika ingat sesuatu. "Pasti cowok yang selama ini kamu sukai itu. Bener, Ai?" ia kini ikut-ikutan memanggil nama kecilku sambil matanya berbinar menggodaku.

Untung dosen cepat datang dan langsung memulai menguraikan materi kuliah di depan kelas. Aku ingin serius menyimak perkuliahan. Namun sesekali pikiranku datang bayangan mas Pijar. Telingaku terngiang ucapan-ucapan yang seakan terasa bagai jarum yang menusuk-nusuk hatiku.

Kenapa mas Pijar mengatakan semua itu padaku? Keluhku dengan sedih. Apa agar aku tidak berharap lagi padanya? Dari gestur tubuhku yang seringkali terlihat gugup saat berdekatan dengannya, dia pasti tahu kalau aku menyukainya. Saat masih kecil dulu juga seringkali malu-malu saat mas Pijar menegurku, meski hanya lewat senyuman kalemnya.

Dan karena ayah atau ibu yang keberatan menerima hubungan kami akan beralasan kalau Pijar dulunya kan nakal? Waktu itu mas Pijar pernah datang ke rumah masih dengan seragam sekolah dan dalam keadaan mabuk. Sudah bisa dibayangkan seberapa buruk pergaulannya dengan teman-temannya. Ibu juga seringkali mengomelinya karena dia suka menghambur-hamburkan uang papanya untuk bersenang-senang dan untuk membeli sesuatu yang nggak jelas manfaatnya. Seperti anak yang kurang perhatian dari orang tuanya. Dan yang terakhir ibu memarahi saat ia datang membawa bayi. Karena itu pasti ibu akan keberatan kalau mas Fajar mendekatiku meski dia keponakan kesayangan melebihi keponakan-keponakan yang lain.

Karena alasan itu juga aku tak berani memperlihatkan rasa sukaku pada mas Pijar pada ibu atau siapapun. Aku sudah merasa ibu tidak setuju jika aku berpacaran dengan mas Pijar. Ibu lebih suka jika aku berhubungan dengan orang seperti I am. I am yang ganteng, pintar, sopan, dan dari keluarga yang baik dan terhormat. Tapi ...

"Bengong dari tadi? Dilihatin pak Alek, tuh!" Mita menyenggol lenganku seraya menegurku.

Aku tergeragap. Perhatianku kembali terpusat pada perkuliahan. Tapi nggak lama konsentrasiku kembali pecah manakala telingaku terngiang ucapan mas Pijar.

"Aku sudah menyatakan pada bulik dan om Hari kalau dia anakku. Maka aku akan merawatnya begitu menikah nanti. Alifa cantik, pintar dan lucu anaknya. Aku mulai mengenalnya dan sepertinya aku juga sudah menyayanginya."

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang