Buku Harian

148 12 0
                                    

Makasih yang masih setia membaca kisah Ai.  

Jangan lupa Follow, kasih vote dan komentarnya yaa ...  

Yuk, lanjut baca!


_______


Saat mau keluar kamar untuk mengambil minum aku menahan langkahku mendengar sesuatu di ruang tengah. Mas Pijar belum pulang? Dia masih ngobrol sama ayah dan ibu. Kuhela nafas perlahan. Kalau tahu ada pembicaraan serius begitu aku paling enggan menampakkan diri, meski sekedar melintas di dekat mereka. Takutnya mereka sedang membicarkan masalah keluarga. Aku sebagai anak angkat merasa seperti bukan bagian dari mereka, karena itu aku lebih baik tidak terlibat dan tidak mendengar apapun.

Tapi ketika aku akan kembali masuk dan menutup pintu kamar, aku mendengar ibu menyebut-nyebut Alifa. Kembali kukuakkan daun pintu. Rasa penasaran merambah pikiranku. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?

"Emang kamu sudah siap membesarkan Alifa seorang diri? Membesarkan anak tidak semudah yang kamu bayangkan, Jar."

"Bagaimanapun Alifa adalah tanggung jawabku. Dia anakku, Bulik."

"Kenapa tidak kamu biarkan Alifa tinggal di ini saja, Jar?" sahut ayah setengah memohon pada keponakannya itu. "Lagian kamu tahu dia takkan bisa dipisahkan dari Ai. Bagitupun Ai. Dia sayang banget pada Alifa."

"Masalahnya aku khawatir kalau nantinya dia terlalu dekat dengan sosok lain yang dianggapnya sebagai papanya. Aku tahu Ai dekat ama I am. Mereka bahkan berencana akan membesarkan Alifa."

"Mereka juga baru mulai pacaran."

"Emang mereka benar-benar pacaran, Bulik?" tanya mas Pijar seperti ingin memastikan hubunganku dengan I am.

"Mereka dekat sejak kecil."

"Tapi sejak dulu sebenarnya Ai suka sama seseorang."

"Siapa? Dari mana kamu tahu dia suka sama seseorang selain I am?" tanya ibu heran dan tajam.

"Aku nggak sengaja baca buku hariannya."

Seketika darahku terasa tersirap mendengar kata-kata mas Pijar. Dadaku juga berdebar-debar tak beraturan. Bagimana mas Pijar bisa menemukan buku harianku? Dan membacanya? Habis riwayatku. Aku paham kini kalau Mas Pijar tahu aku selama ini menyukainya. Dan dia akan membeberkan rahasiaku di hadapan ayah dan ibu. Ah, tidak bisa kubayangkan bagaimana menghadapi wajah ayah dan ibu nanti. Aku malu dan merasa nggak enak hati telah berani-beraninya mencintai ponakan kesayangan ibu itu.

"Apa kamu tahu siapa laki-laki yang sebenarnya disukai Ai?"

"Nanti Bulik dan om Hari akan tahu sendiri siapa laki-laki yang sudah dicintai Ai sejak dulu. Bahkan mungkin sampai sekarang."

"Tapi Ai sepertinya sekarang ini menyukai I am," sela Ayah.

"Siapa, Jar? Apa kamu mengenalnya? Apa bulikmu ini mengenalnya? Orang mana dia?"

"Sebaiknya Bulik tanyai sendiri si Ai."

Aku terduduk lemas di sisi tempat tidur mendengar percakapan di luar kamar sana. Otakku lemah ketika hendak mengembalikan hatiku yang bercampur perasaan resah, gundah dan kalut ke perasaan semula. Perlahan kuambil nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan. Ketika tak juga ringan hatiku, maka aku merebah di sisi Alifa.

Aku tahu mas Pijar tidak suka sama I am. Dia tidak suka aku berhubungan dekat dengan I am. Tapi kenapa? Apa mas Pijar sebenarnya menyukaiku? ? Pikiran itu kini menyeruak lebih dalam ke pikiranku mengingat saat dia tiba-tiba menawari mengantarku ke kampus. Padahal sejak dulu dia diam dan nggak begitu memperdulikanku. Tapi sekarang ini dia mulai berubah. Dia menyapaku, menanyaiku, dia juga memberiku uang, membelikan aku handphone juga motor. Uang, handphone dan motor itu kukira bukan karena dia menganggapkan babysitter untuk Alifa. Tapi itu semua untuk memperlihatkan salah satu bentuk perhatian padaku.

Lalu bagaimana hatiku menanggapi perhatian yang tiba-tiba dan besar itu? Hatiku kuakui memang belum sepenuhnya bergeser dari pesonanya. Tapi kalau berpikir dengan otak, tentu saja aku nggak perlu menanggapi apapun perhatian mas Pijar. Aku harus kembali pada kenyataan semula bahwa dia adalah sebagaimana kakak bagiku. Aku sudah punya I am. Aku sudah memilih I am. Sudah memutuskan untuk setia padanya bahkan juga berjanji akan menikah dengannya.

Aku terbangun ketika mendengar seruan ibu di pintu kamar. Alifa ikut terbangun. Ia tumben tidak merengek. Matanya yang cantik itu terbuka lebar. Sementara bibirnya membentuk senyuman bahagia. Rekaman dalam otaknya tengah memutar pengalaman menyenangkan saat pergi ke Monas bersamaku dan I am. Itu memperlihatkan bentuk rasa bahagia pada dirinya. Tangannya bergerak menyentuh wajahku sebagai bentuk sapaan.

"Tumben kamu bangun tidur kamu nggak nangis?" tanyaku.

"Enggak," gelengnya kuat.

"Mau susu?"

"Mau."

"Ayo bangun! Minumnya di luar!" ajakku.

Dia merangkak bangun dari tempat tidur. Lalu mengikutiku ke luar kamar. Melihat sepedanya, ia langsung menaikinya dan dijalankannya dengan lambat ke arah ruang tengah sambil berteriak menyuruhku menunggunya. Padahal jarak ke ruang tengah hanya beberapa langkah. Tanpa memperdulikan rengekan manjanya aku pergi ke dapur membuat susu. Sesaat sebelum ngambeknya meletup, kususupkan tepian gelas susu ke mulutnya.

"Ai, taneman di luar pada kering semua," kata ibu mengingatkanku.

"Iya, habis ini aku sirami, Bu," sahutku menunggu Alifa menghabiskan susunya. "Alifa, habis ini mandi, ya? Mama mau siram-siram tanaman dulu!"

"Mandi basah-basahan kayak dulu, Ma!" pintanya mengejar di belakangku.

"Enggak. Nanti diomelin sama ibu. Lantainya basah dan licin. Kalau kepleset gimana?"

Setelah berpikir sejenak, anak itu tetap mengikutiku. "Aku mau ikut siram-siram tanaman sama mama!"

*

Ibu ataupun ayah tidak pernah menanyakan tentang apa yang dibicarakan mas Pijar. Meski sikap mereka bisa-bisa saja seperti dalam keseharian, namun sepertinya aku merasa perlu menyampaikan sesuatu pada ayah dan ibu. Tentang keseriusan hubunganku dengan I am.

"Ibu, " kataku saat aku punya waktu berduaan dengan ibu di ruang tengah sambil menunggu ayah pulang lembur. Mendadak ragu aku malah mengambil jahitan untuk membantu mengesum pinggiran kain.

"Ada apa, Ai?" tanya ibu heran mendengar aku menahan sesuatu di tenggorokanku.

"Aku sudah janji akan menikah dengan I am," kataku langsung tanpa pendahuluan atau apapun namanya.

Ibu menghentikan pekerjaannya memasang kancing baju. "Kamu mau menikah dengan I am? Kalian, kan, belum pada lulus?"

"Maksudnya ya nanti kalau sudah lulus."

"Oh," perhatian ibu kembali pada jarum dan kain di tangannya. "Kamu benar-benar sayang sama I am?"

"Iya, Bu. Ibu juga suka sama I am, kan? Ibu juga setuju kalau aku nantinya menikah dengan I am, kan?"

Ibu mengangguk. Sepertinya mengiyakan pertanyaanku. Namun aku tidak cukup lega ketika melihat wajah ibu yang perlahan berubah sendu.

"Kalau mas Pijar tidak keberatan, aku ingin terus bersama Alifa. I am tidak keberatan kalau nantinya tinggal bertiga dengan Alifa."

"Pijar mau mengambil Alifa. Itu yang dia katakan kemarin sama ayah dan ibu."

Aku terhenyak, meski sudah samar-samar kemarin mendengar perkataan mas Pijar. "Mas Pijar, kan kerja? Gimana dia akan merawat Alifa?" tanyaku kesal dan emosi.

"Mungkin dia akan menikah."

Mas Pijar mau menikah? Sama siapa? Bukannya pacarnya pergi ke luar negeri? Apa mas Pijar sudah berhasil menghubunginya dan menyuruhnya pulang? Bermacam pertanyaan berseliweran di kepalaku.

"Alifa nggak akan mau tinggal dengan siapapun kecuali dengan kita, Bu. Bagaimana mungkin mas Pijar akan memaksa membawanya? Apa dia tidak berpikir kalau itu justru akan menyiksa Alifa nantinya?"

"Ibu rasa dia cemburu karena selama ini Alifa lebih dekat dengan I am ketimbang dengannya. Itu alasan dia mau merawat sendiri Alifa."

Andai ibu tahu kalau Alifa sebenarnya bukan anaknya mas Pijar. Meski kesal dan dongkol, tapi aku nggak berani membocorkan rahasia itu pada ibu. Aku takut ibu dan memarahi habis-habisa mas Pijar. Lalu habis itu mas Pijar akan ganti marah-marah padaku.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang