Saat berada di meja makan aku nggak banyak ngomong. Hanya sesekali mengingatkan Alifa agar makan dengan benar. Tidak dimut atau dimuntahin, karena malas mengunyah dan juga karena lelah tentunya. Aku makan sambil menyuapi Alifa yang terus ngoceh menyebut-nyebut papa I am, papa I am. Seolah dalam hidupnya hanya ada laki-laki terpenting dalam hidupnya, yaitu papa Iam.
Sementara mas Pijar makan sambil sepatah dua patah kata menjawab pertanyaan ibu dan menyahut lontaran kata-kata ayah. Entah bagaimana roman wajahnya, aku malas menatapnya. Dan nggak ingin perduli.
Selesai makan aku membereskan meja makan dan mencuci semua piring, gelas, sendok dan perabot bekas ibu masak tadi, sementara Alifa di ruang tengah sama ayah, ibu dan mas Pijar. Itu lebih baik bagiku untuk menghindari mas Pijar dan meredam kekesalanku padanya dengan menyibukkan diri dan berada berlama-lama di seputaran meja makan dan dapur.
Hari Minggu ibu meliburkan asistennya. Jika tidak ada yang dikerjakan, ibu pergi ke ruang kerjanya dan tetap saja menyempatkan melihat-lihat dan memeriksa jahitan milik pelanggannya. Lalu menjahit dengan tangan atau memasang kancing di ruang tengah.
"Sayang, ayo bobok, yuk!" ajakku pada anak itu kemudian.
"Aku mau main sama om Pijar."
"Biarin di sini dulu, Ai. Lagian dia habis makan," kata ayah masih ingin membiarkan bocah itu berdekatan lebih lama dengan 'papanya'.
"Tapi dia dari tadi lari-larian, Yah. Pasti dia capek. Dari pada nanti malam dia rewel."
"Ya udah bobok sana! Nanti main lagi," suruh mas Pijar menutup buku cerita di tangannya.
Alifa akhirnya mengambil tanganku dan menurut kubawa ke kamar. Begitu berbaring kubelai rambutnya. Aku masih sering bertanya-tanya dalam hati, kenapa mas Pijar mengatakan padaku kalau dia bukan anaknya? Kasihan Alifa. Dia akan bingung dan sedih kalau tahu kisah hidupnya yang sebenarnya.
"Ma, aku mau diajak om Pijar jalan-jalan lihat ikan yang besar, " ceritanya sebelum kantuk benar-benar menerjangnya.
"Tapi om I am juga mau pergi ke Seaword lihat ikan-ikan yang besar."
"Aku mau sama mama sama om Pijar naik mobilnya," sahutnya.
"Tapi mama maunya pergi sama om I am."
"Tapi aku pengen naik mobil sama om Pijar, Mama," rengeknya.
"Mama maunya sama papa I am! Papa I am juga punya mobil!" aku bersikeras
Alifa langsung mendekapku. "Aku mau pergi sama mama sama papa I am," putusnya.
Aku masih membelai rambutnya yang tebal hitam itu. Tak lama kurasa ia tertidur pulas. Terdengar dari dengkur halusnya yang menyembur hangat di bahuku. Aku bangun dan kuberi guling di sisi tempat tidur. Saat tengah duduk di kursi belajar dan hendak membuka laptop, kulihat mas Pijar masuk ke kamar. Ia berdiri di sisi tempat tidur sambil bersedekap dan memandangi Alifa yang tertidur pulas.
"Kenapa mas Pijar bilang sama I am kalau Alifa anak mas Pijar?" tanyaku langsung sambil memutar tubuh menghadapnya.
"Emang dia anakku, kan?" sahutnya ringan.
"Biarin nanti aku bilang sama ibu kalau sebenarnya Alifa bukan anaknya mas Pijar!" ancamku tajam menakutinya.
Mas Pijar menghela nafas dan tidak terlihat takut sedikitpun. "Kamu benar-benar menyukai I am?" tanyanya malah mengalihkan pembicaraan.
"Ya."
"Bohong!" desisnya.
Aku menentang pandangannya. Apa urusannya coba kalau aku menyukai I am atau tidak? Kenapa ia perduli?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati Ai [ Selesai ]
RomanceSebenarnya cita-cita Tari sejak dulu begitu sederhana. Menjadi seorang ibu. Sebuah keinginan yang semua perempuan normal bisa menjalaninya. Dan sepertinya Allah menerima dan mengabulkan keinginan mulianya itu. Seorang bayi merah dan mungil tiba-tib...