Terima kasih yang masih setia mengikuti ceritaku.
Yuk, follow, kasih vote dan berikan komentar!
____
Mas Pijar menjalankan mobil perlahan, membawa mobil keluar dari halaman rumah menuju jalanan. Setelah melewati kemacetan di perempatan jalan, mobil kembali melaju dengan lancar. Suasana sepi melingkupi dalam mobil. Hingga beberapa menit aku maupun mas Pijar tak juga menemukan bahan obrolan. Apa mas Pijar segrogi aku? Ah, kukira tidak. Orang sekeren dia pasti sudah pengalaman pergi bersama cewek. Entah berapa kali ia berganti pacar.
"Kenapa kamu nggak minta motor sama bulik atau om Hari?, Ai? Tempat kuliahmu kan lumayan jauh?" tanya mas Pijar tiba-tiba.
Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. "Ah, enggak, Mas," jawabku.
"Kenapa?" cowok itu menoleh sekejap kepadaku, lalu kembali menghadap ke jalanan.
"Nggak apa-apa. Bisa kuliah juga aku sudah senang."
Waktu itu ayah udah mau ambil motor buat aku dengan cara kredit. Tapi aku lebih butuh laptop dan printer. Dari pada aku harus pergi ke warnet, atau numpang ngetik di laptop Mita setiap kali harus mengerjakan tugas kuliah. Bahkan dengan laptop aku bisa mengembangkan hobi menulisku sampai sekarang. Meski begitu ayah waktu itu masih juga menawari beli motor. Tapi aku menolak.
Sebagai anak angkat, semakin dewasa aku semakin sering berpikir untuk membalas kebaikan ayah dan ibu. Bukan malah membebani mereka. Aku ingin cepat lulus, lalu kerja. Terbayang, gaji pertama yang aku terima nanti akan aku belikan sesuatu buat ayah, ibu dan juga Alifa.
"Kenapa kamu bersikap seperti orang lain? Kamu sudah seperti anak kandung. Kamulah anak satu-satunya harapan bulik dan om."
"Justru karena aku anak angkat." Aku nggak mau manja dan memanfaatkan kebaikan ayah dan ibu. Aku melanjutkan jawabanku dalam hati.
"Kamu mengambil alih posisiku di rumah bulik. Kehadiranmu di rumah bulik sempat membuatku kecewa dan berpikir kalau kamu sudah merampas bulik dariku."
Aku tercekat. "Maaf, Mas," ucapku dengan sungguh-sungguh dan merasa nggak enak. Dan aku merasa memang telah merenggut ibu darinya. "Aku baru tahu kalau mas Pijar selama ini marah padaku."
Tapi saat aku mengerling, kulihat dia tidak menunjukkan dendam, tapi senyum konyol yang ditujukan pada dirinya sendiri.
Aku lega karena kami akhirnya bisa ngobrol selama dalam perjalanan. Dan aku merasa kami sudah lebih akrab. Dia tidak sekaku yang kukira.
"Ai," panggil mas Pijar kemudian.
Aku menoleh dengan penuh dengan perlahan. Dari samping, nampak irisan wajah menarik itu. Dahinya yang lebar, matanya yang dalam, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang lembut.
"Makasih, selama ini sudah menjaga Alifa!" ucapnya kalem dan terdengar tulus.
Aku terdiam sesaat. "Aku hanya bantuin ibu menjaga Alifa," sahutku sambil kembali membawa kepalaku berpaling ke arah jalanan di depan.
"Kamu pikir aku nggak dengar cerita dari bulik bagaimana kamu merawat Alifa? Dari bangun sampai datang waktu tidur, kamu yang lebih sering bersama Alifa."
Aku mengiyakan dengan senyum simpul. Memang iya. Aku yang lebih sering bersama Alifa ketimbang ibu. Apalagi kalau ibu sedang banyak jahitan yang harus segera diselesaikan.
"Lama-lama kamu kayak bulik. Kamu begitu menyayangi Alifa. Padahal Alifa nggak ada hubungan apapun denganmu."
Aku termangu menatap pemandangan di luar kaca. Aku menyayangi Alifa bukan semata-mata karena aku juga menginginkan mas Pijar. Aku tulus menyayangi Alifa dengan sepenuh hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati Ai [ Selesai ]
RomanceSebenarnya cita-cita Tari sejak dulu begitu sederhana. Menjadi seorang ibu. Sebuah keinginan yang semua perempuan normal bisa menjalaninya. Dan sepertinya Allah menerima dan mengabulkan keinginan mulianya itu. Seorang bayi merah dan mungil tiba-tib...