Lampu Hijau

237 21 1
                                    

Hai, masih setia mengikuti ceritaku, kan? Makasih banget  atas support-nya. Semoga aku bisa menyelesaikan cerita ini dengan baik dan lancar. Aamiin.


____


Begitu tiba di kampus, baru dapat kabar dari ketua kelas kalau dosennya ternyata sakit nggak bisa ngajar. Kuliah hari ini ditiadakan. Dengan lemas aku keluar kelas. Nampak Mita yang lari-lari menuju kelas. Takut terlambat. Aku menahannya masuk kelas dan memberitahu kalau kuliah kosong hari ini.

"Asem. Aku udah buru-buru, sampai ngos-ngosan dan keringetan lari dari tempat parkir. Ternyata kuliah batal. Bu Dini sakit? Sakit apa?"

"Nggak tahu. Darah tinggi kalau nggak salah. Subuh tadi dibawa ke rumah sakit karena ngedrop."

Mita mengangguk-angguk. Tak lama ia memegang lenganku, mengguncang perlahan. Dengan heran aku menoleh dan menatap matanya yang berseri-seri. "Tar, ayo ke kantin! Aku traktir."

"Nggak, ah, aku sudah sarapan."

"Ya udah minum aja. Apa, kek, kopi, teh, susu, es campur?" bujuknya.

"Busyet. Pagi-pagi minum es."

Tapi kuikuti langkah semangat Mita menuju ke kantin. Tanpa tanya-tanya dia langsung memesan dua kopi, lalu memilih tempat duduk paling pojok.

"Tar, boleh, nggak mulai sekarang aku panggil kamu Ai?" tanyanya dengan senyum lebarnya setelah kami mengambil duduk.

Entah kebahagiaan macam apa yang meliputinya hari ini. Dia kelihatan lagi happy banget. "Terserah," meski sebenarnya setiap kali dengar orang memanggilku Ai, spontan otakku memastikan orang itu adalah keluargaku, orang-orang dari masa laluku atau masa kecilku.

Dan Mita makin bungah mendengar jawabanku. "Ai, "panggilnya kemudian. "Tahu, nggak, aku kemarin ketemu Ilham. Dia pulang. Tumben-tumbenan dia ngajak aku ngobrol. Lalu kami janjian ketemu di kafe di deket rumahku. Ih, kita kayak orang nge date aja pokoknya."

Aku ternganga mendengar ceritanya. I am? Dia pulang kemarin? Bukannya main ke rumah malah nge date sama Mita? Katanya mau ngajak ke Monas? Dasar anak itu! Aku diam-diam mengutuk dalam hati.

"Dia ngomong alasan kenapa nggak jawab telponku, nggak bales pesanku. Dia katanya marah sama mamaku. Katanya mamaku sombong dan Ilhan sempat tersinggung dengan kata-kata yang diucapkan perempuan yang katanya mamaku. Setelah aku telusuri, ternyata waktu itu dia bukan ketemu sama mamaku tapi tanteku. Tanteku emang orangnya agak songong sama orang yang baru pertama dia ketemu. Suka negative thingking dan prasangka yang nggak-nggak gitu. Dan akhirnya aku minta maaf sama Ilham. Dan Ilham minta maaf juga sama aku. Habis itu kami ngobrol sampai hampir tengah malam di café."

Ngobrol apaan sampai tengah malam? Cibir hatiku.

"Ternyata Ilham benar-benar sahabat sejati, lho, Ai. Dia perhatian sama kamu dan mendoakan semoga kamu mendapat pacar yang baik."

"Kamu cerita tentang cowok yang ke kampus sama aku waktu itu?"

"Iya," jawabnya tanpa berdosa.

Aku langsung lunglai.

"Dan kemarin dia nanya ciri-ciri cowok yang sama kamu itu. Setelah aku berikan ciri-cirinya, dia bilang sepertinya dia kenal. Dia menyebut kalau nggak salah namanya Pijar. Benar, Ai?" Mita mengguncang jari-jari tanganku di atas meja dengan heboh untuk minta konfirmasi.

Jadi I am sudah tahu? Paling nggak ia merasa dan mengira-ngira kalau cowok yang kusukai itu Pijar? Malah dia sudah yakin? Entah apa yang kupikirkan. Aku hanya malu. Karena cintaku pada mas Pijar hanya bertepuk sebelah tangan.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang