Seorang Sahabat

146 17 0
                                    

Saat ketemu di kampus Mita diam seribu bahasa. Sejak datang sampai selesai kuliah dia terlihat acuh dan sebal padaku. Tentu saja aku tahu kenapa dia bersikap seperti itu. Aku ingat rencana yang telah dijalankan I am. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Mita. Sudah cintanya nggak kesampaian, masih kena beban suruh mencomblangi. Kurasa kami keterlaluan. Tapi mau gimana lagi?

"Tar, buku catatan yang kamu pinjem cepet balikin, dong! Aku, kan juga mau belajar? Emang kamu doang yang pengen punya nilai bagus?" ujarnya dengan ketus saat dosen sudah keluar kelas dan sebagian besar isi kelas telah bubar.

"Maaf, Mit, aku lupa bawa. Nanti aku anterin ke rumahmu."

"Nggak usah. Besok aja bawa ke kampus. Kamu ngapain ke rumahku? Ilham nggak ada di rumahnya. Dia masih di Depok," sahutnya makin ketus.

"Aku ke rumahmu mau nganterin buku kamu. Bukan mau ketemu I am," sahutku tak ingin terpancing ujaran sengitnya.

"Dia suka sama kamu. Dia bilang gitu sama aku semalam."

Meski sudah menduga bakal ditodong pertanyaan semacam itu, namun tak urung aku kaget juga ketika mendengar Mita mengutarakannya.

"Tapi mana mungkin, sih, Tar? Bukankah kamu sudah punya mas Pijar? Apa mungkin kamu bakal menduakan cinta pertamamu itu dengan menggandeng teman kecilmu?"

Kalau aku bilang sebenarnya mas Pijar nggak menyukaiku apa Mita bakal percaya? Lalu bagaimana kalau dia akhirnya nanti tahu kalau aku dan I am pacaran? Selain terputusnya hubungan pertemanan kami, apa lagi yang akan aku hadapi? Aku terang-terangan telah merebut I am dari tangan Mita.

Aku harus segera mengembalikan buku Mita. Nggak enak rasanya mendengar ucapannya tadi. Pulang kuliah aku naik motor pergi ke rumah Mita sambil boncengin Alifa. Ibu berkali-kali mengingatkanku agar hati-hati begitu tahu aku pergi berdua dengan Alifa. Dia duduk di depan. Seneng banget saat melihat jalanan yang nampak ramai. Juga saat motor berjalan dan terasa wajahnya ditempa angin senja yang membuatnya merasakan segar. Rambutnya yang sebahu nampak berkibaran oleh angin. Sepanjang jalan mulutnya tak henti mengoceh apalagi melihat sesuatu.

"Mama, tadi ada topeng monyet!" teriaknya memberitahu saat melewati kerumunan warga yang tengah menonton tarian topeng monyet.

"Iya. Mama tadi juga lihat," sahutku sambil terus memperhatikan jalanan.

"mama, aku mau beli balon!" serunya lagi.

"Nggak bisa. Bawanya susah. Mama juga nggak bawa duit."

"Mama nanti beli es krim lagi, ya?"

"Ya."

Begitu sampai di gang rumah Mita, aku masih membayangkan Mita yang masih marah-marah. Apalagi saat teringat mimpiku semalam saat Mita mencaci makiku. Hatiku berdebar membayangkan suara Mita yang keras dan sengit hingga mengundang perhatian orang sekampung dan merubung kami. Lalu orang-orang terlihat menunjuk-nunjuk aku sambil berkomentar buruk tentang aku. Ah, kukibaskan pikiran itu. Aku toh hanya mau nganterin buku habis itu pulang. Ngapain lama-lama di rumah Mita?

Aku bahkan nggak tahu rumah nenek I am di mana. Kata Mita berseberangan dengan rumah Mita, lalu seslisih tiga rumah. Mataku sempat menghitung deret rumah di seberang rumah Mita. Rumah cat putih dan pagar warna hitam itu?

Sepi rumah Mita. Tapi ada mobil terparkir di depan rumahnya. Sambil menggandeng tangan Alifa aku membuka pagar yang terbuka itu, lalu masuk.

"Assalamu'alaikum," sapaku perlahan.

Tak ada jawaban. Pintu yang sedikit terbuka itu aku kuakkan. Dan betapa kagetnya aku ketika di dalam sana mataku mendapati pemandangan seseorang sedang berpelukan. Mita? Aku terkesiap. Sama siapa dia? Sambil menahan debaran di dadaku aku berpikir akan kabur saja. Tapi terlambar. Saat aku hampir beranjak, pandangan Mita di balik punggung seorang lelaki itu mendongak dan mengarah kepadaku. Spontan ia melepaskan pelukannya.

Cepat aku beringsut ke luar pintu dengan posisi membelakangi Mita entah dengan siapa itu. Pikiranku berkecamuk dan berpikir ingin segera enyah dari tempat itu. Tapi aku bertahan menunggu Mita. Hanya untuk menyerahkan buku catatannya, trus habis itu pulang. Dia pengen belajar dan dapat nilai bagus, katanya tadi.

"Tari," panggilnya begitu keluar menemuiku.

"Sorri, sudah mengganggumu, Mit. Aku hanya mau ngembaliin buku catatanmu," ujarku langsung.

"Kan, aku sudah bilang nggak usah ke rumah?. Besok aja bawa aja ke kampus."

"Takutnya kamu mau belajar. Makasih, aku langsung pulang! Yuk, Sayang kita pulang!" ajakku pada Alifa sambil mengajaknya pergi.

"Tari," Mita seperti ingin menahanku.

Aku menghentikan langkahku dan menolehnya.

"Dia orang yang dijodohkan denganku," katanya seperti mengakui sesuatu. Jadi ternyata dia benar dijodohkan? Dan hubungan mereka sudah sedekat itu? Tapi kenapa waktu itu membantahnya? Dan kenapa Mita masih merangsek ingin meraih I am? Aku nggak habis pikir. "Mungkin tidak lama kami akan melangsungkan pertunangan."

"Yang dokter itu?" tanyaku memastikan.

Ia mengangguk.

Aku juga mengangguk sebelum kemudian membawa Alifa ke motor. Jadi kita impas, Mit. Senyumku dalam perjalanan pulang.

Tak sabar aku ingin langsung menghubungi I am mau menceritakan apa yang barusan aku lihat dan aku dengar dari Mita. I am pasti kaget sekaligus lega mendengar apa yang kuutarakan. Ternyata Mita benar sudah dijodohkan.

"Ya, Ai?" terdengar suaranya saat mengangkat telpon.

"Aku barusan dari rumah Mita," ceritaku mendahului cerita utama yang akan kusampaikan padanya.

"Ngapain?"

"Nganterin buku catatan," jawabku. Lalu aku teringat deretan depan rumah Mita. "Rumah nenek kamu yang pagar hitam, ya, Am?" tanyaku.

"Di situ banyak rumah yang pagarnya hitam."

"Yang di seberang rumah Mita!" aku menegaskan dengan keras.

"Iya. Pas sebelah kanan rumah nenek juga pagar item."

"Ih, I am! Tinggal bilang iya aja. Rumahnya cat putih, pagar hitam, trus depannya ada pohon ... belimbing kalau nggak salah. Bener, nggak?"

"Nah, gitu, dong yang lebih spesifik."

"Nyebelin," gerutuku.

"Emang kalau lagi kangen suka sensi gitu, ya?" ledeknya menambah sebalku.

"Tau, ah!"

I am terkekeh senang.

"Ya udah aku nggak jadi cerita, deh. Males jadinya. Aku tutup telponnya, aja, ya?"

"Ngambek, deh. Kamu sebenarnya mau cerita apa, sih?" tanyanya kali ini serius.

"Udah, lupa."

"Cepetan cerita! Nanti aku mati penasaran, nih!"

Mau nggak mau aku tersenyum. "Tadi aku pas ke rumah Mita, aku lihat dia lagi sama cowok. Tau, nggak? Mereka pas lagi berpelukan pas aku lihat."

"Ck, Meski kamu nggak cerita kayak gitu aku tetep memilihmu ketimbang Mita."

Aku nggak perduli sahutan I am. "Ternyata dia benar dijodohin, Am. Padahal waktu itu aku cerita sama kamu, kan, kalau Mita menyangkal kalau dijodohin sama seorang dokter? Katanya nggak lama mereka akan melangsungkan pertunangan."

Iam tidak seketika menyahut. Ia diam seperti berpikir. "Oh, jadi gitu ceritanya? Berarti kamu nggak perlu khawatir lagi dengan Mita, kan?"

"Heem.

"Syukurlah."

"Hampir saja aku kelepasan ngomong kalau kita sudah jadian."

"Kenapa kamu nggak ngomong sekalian tadi?"

"Biar dia tahu sendiri nanti."

"Kapan-kapan aku akan mengantarmu ke kampus. Dan aku ingin dia lihat kita jalan bareng."

Aku tersenyum membayangkan I am akan pulang dan mengantarku ke kampus. Betapa senangnya hatiku dan tidak sabar menunggu hari itu tiba.


Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang