Senen - Matraman

427 44 2
                                    

Bab 7 Senen – Matraman

Sedih banget karena gak ada yang follow. Gak ada kasih vote. Gak ada yang koment. Sebenarnya ceritaku bagus apa jelek, sih?  ngambek, udahan aja deh postingnya. Hu hu huu ...


___


Sambil mencangklong tas aku beringsut dari tempat duduk, lalu berjalan menuju pintu keluar kantin. I am menguntit di belakangku dan tak lama kaki panjangnya menjajari langkahku. Kami melangkah dalam diam. Saat aku hendak mengambil arah menunju gerbang kampus, I am menarik tanganku dan memaksaku mengikutinya ke tempat parkir.

"Bener kamu tulus ikhlas mau mengantarku?" tanyaku sebelum naik ke jok belakangnya.

"Iya. Ikhlas."

"Nggak ada maksud apa-apa?"

"Bawel. Buruan naik!"

"Aku nggak pake helm?"

"Aku cuma bawa helm satu. Lewat jalan tikus nggak bakal ketemu polisi."

"Pakai helm bukan karena takut polisi tapi demi keselamatan, Am!" nasehatku serupa omelan sebelum akhirnya naik juga ke motornya.

"Lagian siapa takut polisi?"

"Kamu."

"Ya udah kita lewat jalan biasa aja. Kalau ketemu polisi, terus kejar-kejaran di jalan jangan teriak-teriak, ya!"

"Aku pukul kamu kalau kamu ngebut!"

"Jadi kita jalannya santai kayak orang pacaran, nih?"

Bug! Kupukul punggungnya. "Cepetan jalan!"

Iapun menjalankan motor. Kurasa dia nyengir saat nggak sengaja kulihat sebagian wajahnya dari arah kaca spion.

Bukan tanpa alasan kalau aku menolak ajakan I am pulang bareng. Kalau ibu tahu aku pulang dianter I am, betapa ibu makin perhatian padanya. Dan dugaan ibu kalau aku dan I am ada apa-apa akan makin kuat. Sementara I am takkan begitu saja menyerah kalau hanya ingin membuatku membonceng di belakangnya.

"Kamu mau langsung pulang?" tanyaku begitu sampai di depan rumah, berharap ia tak berniat menemui ibu meski untuk basa basi menyapanya. Apalagi sekarang sudah waktu makan makan. Aku tahu I am tidak saja mengincar tawaran makanan siang di rumah kami, tapi ia juga ingin merebut posisi tertinggi di hati ibu.

"Hai!" tidak menanggapi tanyaku, dia malah melambaikan tangan pada sesuatu di belakangku.

Aku cepat menoleh ke arah teras. Dan mendapati Alifa yang berjalan sendirian ke luar. Mata bundarnya memandangku dengan suka cita. Namun beranjak ragu ketika menatap sosok di dekatku. Kutinggalkan I am untuk menghampiri gadis kecilku dan membawa tubuhnya ke gendongan. Kucium pipinya lalu kurasakan lengannya melekat di bahuku.

"Mama," panggilnya seraya memberitahu kehadiran sosok yang mungkin dikenalnya itu.

"Om I am," bisikku di telinganya.

"I am," ia lalu menyebut nama itu dengan bisikan pula.

"Halo Alifa!" sapa I am dengan senyum sok akrabnya.

Anehnya Alifa seolah langsung terpikat. Saat I am menyodorkan tangan ia menyambut dan menciumnya. I am mengelus rambutnya dengan lembut. Sementara itu Alifa tak henti menatap cowok itu.

"Kamu udah maem apa belum?" tanya I am dengan gemas.

"Dah!" jawab Alifa malu-malu.

"Kok kamu nggak bobok? Bobok, yuk!" bujukku.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang