Jangan Goyah, Ai

211 21 0
                                    

Saat sedang menemani Alifa mewarnai gambar dengan pensil warna, aku terpikir lagi ucapan mas Pijar yang mengatakan kalau Alifa bukan anaknya. Berarti .... berarti ..... entah apa yang ada dalam pikiranku. Berarti ... aku pastikan mas Pijar nggak bisa mengambil Alifa. Dia nggak punya hak. Kalau dia memaksa mau mengambil Alifa, aku akan membocorkan rahasia itu pada ibu dan ayah. Biar sekalian dicaci maki sama ibu. Meski sayang sama mas Pijar, tapi kalau sudah marah, ibu juga bisa mengeluarkan kata-kata keras padanya. Bayangin kalau ibu sampai tahu ternyata Alifa bukan anaknya mas Pijar. Anak orang dititipin gitu aja suruh ngerawat.

Dengan pikiran itu aku makin ingin mempertahankan Alifa di rumah ini dan makin giat dan tekun ngajarin dia banyak hal selain menyanyi dan mendongeng. Mengenal warna, mewarnai gambar, menghitung dan mengenal huruf dan angka serta huruf Hija'iyah. Pokoknya anak itu harus sudah pinter dan paling unggul saat mulai masuk sekolah nanti.

Naun saat ini Alifa baru belajar memegang pensil dengan benar. Meski jari-jari kecilnya belum bisa memegang pensil dengan benar, namun dia nampak antusias. Dan hasil mewarnainya juga luar biasa. Amburadul, nggak karu-karuan, dan hanya berupa benang kusut. Namun ia sudah cukup bangga dengan hasil karya yang diciptakannya. Wajahnya serius saat menekan ujung pensil warna ke permukaan kertas yang berisi gambar hewan-hewan tanpa warna.

Pikiranku kembali melambung jauh. Dulu, saat aku merasa mas Pijar begitu jauh dari jangkauanku dan I am waktu itu tak pernah terpikiran kalau akan menjadi bagian dari hari-hariku, aku pernah berpikir akan tinggal berdua saja dengan Alifa. Hubungan kami tidak lagi seperti ibu dan anak. Tapi sahabat. Kami akrab dan tak terpisahkan. Tak terbayangkan kami pergi ke suatu tempat bersama-sama.

Dan saat ini aku sungguh berharap I am tidak keberatan jika Alifa berada di antara kami. Saat sekarang ini atau kelak saat hubungan kami sudah berjalan lebih jauh lagi. Saat bertemu nanti aku juga ingin menanyakan kesediaannya membawa pula ayah dan ibu dalan kehidupan kami nantinya.

Sambil ikut mewarnai sebuah gambar binatang gajah yang kuberi warna pink lembut, lebih jauh kubiarkan anganku terbang tinggi. Kubayangkan aku, I am dan Alifa pergi ke suatu tempat. Bagaiaman kalau kami tinggal bersama suatu saat nanti? Ah, wajahku saat ini pasti memerah saat membayangkan pernikahanku dengan I am. Ihh! Aku sudah gila! Cepat-cepat kuhempaskan pikiran ngelantur itu.

"Mama mau minum dulu ya, Sayang!" kataku sambil bangkit berdiri.

"Ya," jawab mulut mungil itu sambil matanya menatapku sejenak lalu kembali dengan kertas gambarnya.

Saat menuju ke kulkas mengambil air, aku melihat ibu duduk ruang makan sambil meletakkan handphone di meja. Sepertinya habis menelpon. Nggak tahu dengan siapa menelpon. Aku mengambil gelas, lalu meneguk air kulkas. Saat ingin kembali ke depan ibu memanggiku. Aku berdiri di pinggi meja makan di dekat ibu.

"Siapa yang telpon, Bu?" tanyaku mendahului ibu bicara.

"Bulik Ningsih." Adik ibu yang tinggal di Jagakarsa.

"Tumben. Ngapain?"

"Ngasih tahu kalau liburan nanti mau pada ketemuan di Jogja. Bulan depan kamu sudah mulai libur semesteran, kan, Ai?"

Mataku mengarah ke kalender yang menempel di tembok di atas meja makan. Awal bulan besok ujian semesteran. "Ibu mau ke Jogja?"

"Lhah, kalau nggak datang gimana? Nggak enak. Semua pada ngumpul, " ibu menatapku. Lalu tak lama memutuskan sesuatu, "Kita semua berangkat."

"Alifa juga?"

"Iya, lah!" ibu masih menatapku, menunggu jawabanku.

"Nanti aku lihat jadwal konsultasi ke dosen dulu, bu. Aku baru mau bikin proposal skripsi."

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang