Suaminya, ya?

229 16 0
                                    

Selesai ujian akhir semester, ternyata aku sibuk di kampus untuk pembekalan KKN dan juga bersiap membuat proposal skripsi. Aku tidak bisa memastikan kapan aku bisa ke Jogja. Kemungkinan aku tidak bisa bareng ibu, karena aku belum tahu kapan jadwal pertemuanku dengan dosen pembimbing.

"Ibu dan ayah berangkat aja dulu sama mas Pijar. Nanti aku dan Alifa nyusul. Aku rencana mau ajak Alifa naik kereta. Dia, kan belum pernah naik kereta? Dia pasti senang banget naik kereta."

"Kamu naik kereta berdua sama Alifa?" tanya ibu khawatir.

"Iya. Emang kenapa?"

"Nggak apa-apa kamu berdua saja dengan Alifa? Berani?" tanya ayah pula.

"Berani. Tinggal duduk manis di kursi kereta. Nanti begitu sampai di stasiun Tugu tinggal naik taksi ke rumah eyang," jelasku meyakinkan ayah.

"Ya udah kalau gitu," ibu setuju dengan usulku.

"I am liburan ini pulang ke Surabaya, Ai?"

"Iya, Yah. Dia pergi sama neneknya."

I am sudah pasti akan pulang ke Surabaya dan aku nggak mungkin ikut ajakannya ke Surabaya. Karena itu dia nampak galau dengan rencana kepergianku ke Jogja. Alasannya karena di sana ada mas Pijar.

"Di sana nggak cuma ada mas Pijar. Ada banyak orang, semua keluarga besar berkumpul. Itu acara rutin yang sudah beberapa tahun aku nggak datang."

Dan ternyata kenyataan tidak seperti yang direncanakan. Mas Pijar masih ada urusan penting menyangkut perusahaan papanya di Jogja menjelang keberangkatan ayah dan ibu. Akhirnya ayah dan ibu berangkat bareng bude Ningsih. Dan jadwal pertemuanku dengan dosen pembimbing muncul barengan dengan hari keberangkatan mereka. Akhirnya aku memutuskan berangkat sehari setelah ayah dan ibu berangkat.

Dan I am, dia dengan setia menungguku berangkat ke Jogja sebelum dia terbang ke Surabaya. Dia juga yang akan mengantarku dan Alifa ke stasiun Senen.

"Ayo kita berangkat. Nanti ketinggalan kereta," seruku selesai memeriksa kompor, kran di kamar mandi dan membenahi tas bawaanku. Kulihat I am masih duduk dengan enggan di sofa. Sementara Alifa asyik main handphone.

Perlahan I am meraih tanganku dan mendudukkanku di dekatnya. "Aku akan merindukanmu, Ai,"

"Kita nanti berhubungan lewat telpon," sahutku meyakinkannya untuk meredam rasa cemasnya.

"Pokoknya tiap hari kita harus menelpon. Kalau seharian kamu nggak telpon aku dan aku telpon trus kamu nggak jawab, aku akan menyusulmu ke Jogja!" ancam I am akibat deraan khawatir yang merongrongnya.

"Iya."

"Ai, pokoknya kamu harus cepat pulang ke Jakarta!"

"Ya Allah, Am, aku pergi paling lama 4 empat hari. Sedang kamu kalau ke Depok kita bisa nggak ketemu seminggu. Pernah waktu itu sampai dua minggu."

"Aku kuwatir jangan-jangan kalian mau dinikahin. Dan kamu menetap di sana selamanya."

"Mana mungkin, sih? Aku, kan, di sini masih kuliah?" sergahku nggak ngerti jalan pikirannya.

"Rasanya aku tidak sanggup melapaskanmu," desahnya dengan berat.

Aku menatap wajah sendunya dengan sedih bercampur gemas. Entah dengan cara apa aku menenangkanya. Kurasakan tangannya perlahan mengusap wajahku. Dan tanpa kusangka dia mencium pipiku. Belum juga hilang kagetku, beruntun ia menjatuhkan ciuman juga di bibirku. Lembut dan berlangsung dalam beberapa detik. Aku kembali tersentak namun hanya mampu terpejam rapat tanpa mampu membayangkan rona merah di wajahku. I am pasti melihat itu saat melepaskan ciumannya. Tak mampu bereaksi apa-apa, aku hanya bisa menurut waktu dia kemudian menarikku ke dalam pelukannya.

Aku hanya akan mengijinkan satu laki-laki yang akan menciumku seumur hidupku. Dan aku berharap hanya laki-laki itu yang akan menikah denganku. Ya. I am. Dia sudah menciumku. Aku berharap Iam yang akan menikah denganku kelak. Kupikir begitulah caraku menghargai diriku.

Aku harus mengesampingkan rasa penasaranku akan mas Pijar. Tentang alasan kenapa dia waktu itu mengatakan kalau Alifa bukan anaknya. Apa karena dia tahu aku akan mengikuti ke mana Alifa berada? Karena itu mas Pijar bersikeras membawa Alifa pergi sementara mas Pijar tahu aku masih punya setitik harapan padanya. Mas Pijar akan menjebakku saat di Jogja nanti dengan menjadikan aku sebagai mamanya Alifa secara hukum. Tentu saja aku akan menolaknya. Biar dia merasakan bagaimana sakitnya menahan rasa cinta.

"Aku juga mau dicium!" mendengar suara Alifa kami tersadar dan cepat melepas pelukan.

Iam tertawa geli menatap wajahnya yang polos dan penuh harap padanya. Ia lalu menggendongnya dan memberinya ciuman di kedua pipinya. "Kamu nggak boleh nakal, ya! Nurut kalau dibilang mama. Oke?" pesan I am.

"Iya," jawabnya sambil memeluk I am dengan erat.

"Ayo, Ai! Mana barang bawaanmu?" tanya I am kemudian.

Aku yang masih termangu langsung tergeragap. "Aku cuma bawa tas ini aja. Isinya makanan dan cemilan buat di kereta. Yang lain udah dibawa ibu."

Kuambil tas dan kunci rumah sebelum keluar mengikuti I am dan Alifa.

Aku tersenyum sampai tertawa melihat tingkah Alifa selama tiba di stasiun hingga duduk di dalam kereta. Ia nampak heran melihat banyak orang di ruang tunggu. Dan terkagum-kagum melihat kereta di hadapannya. Mulutnya berteriak-teriak sambil tangannya menunjuk-nunjuk kepala gerbong kereta yang melaju. Waktu di dalam kereta dan kereta mulai berjalan matanya tak berhenti melongok ke luar jendela. Kujejalkan susu kotak di sela dua tangannya. Ia menerimanya dengan penuh girang. Lalu menyedotnya sambil kembali menikmati pemandangan di luar sana.

"Sayang, bangun. Kita sudah sampek, lho!" aku membangunkan Alifa yang tak juga bergerak meski sudah kuguncang-guncang lengannya, dan kutepuk-tepuk pipinya. Dia pasti kelelahan dari tadi tak berhenti ngoceh semua hal yang dilihatnya baik di dalan kereta maupun yang di luar jendela.

Akhirnya kugendong dia dan kubawa turun dari kereta. Untung aku tidak membawa tas berisi barang-barang berat. Lama-lama lenganku sampai mau patah menahan berat tubuhnya. Dengan nafas terengah aku berjalan hingga di pintu keluar.

Beberapa langkah sebelum mencapai pintu keluar beberapa orang merubungku untuk menawarkan becak, ojek maupun taksi. Ada yang berusaha mengambil alih Alifa, namun aku mempertahankannya. Takut dia membawanya kabur. Begitu di tiba di luar stasiun aku memilih taksi yang bersih yang terdekat dengan jarakku. Aku sudah memilih dan hendak masuk ke dalam sebuah taksi ketika mendengar seruan di telingaku.

"Ai!"

Aku mengikuti suara yang tak asing itu. Mas Pijar? Aku kaget dan tak mengira ia akan datang menjemputku. Namun segera kuralat. Dia menjemput Alifa, anaknya.

"Nuwun sewu. Nuwun sewu."

Aku melihat mas Pijar menerobos kerumunan di sekitarku. Aku heran tapi juga senang melihat kedatangannya yang bagaikan pahlawan yang menyelamatkanku dari rubungan orang-orang itu. Dia mengenakan kemeja putih yang digulung lengannya hingga siku dan kaca mata hitam bertengger di atas hidungnya. Keren banget.

Dia serta merta mengambil Alifa dari tanganku lalu menyuruhku mengikutinya. "Nuwun sewu, nggih!" Mas Pijar dengan halus meminta jalan pada orang-orang itu.

"Oh, dijemput garwane, nggih?" tanya salah seorang dari mereka.

"Nggih," jawab mas Pijar dengan santun.

Aku mendengar jawaban mas Pijar yang ringan itu dan dadaku bergetar lirih. Garwane, nggih? Artinya : suaminya, ya? Tapi aku pura-pura nggak dengar. Pura-pura nggak paham juga. Kakiku mengikuti mas Pijar sampai ke mobil. Begitu aku masuk ke mobil, dia mengulurkan Alifa padaku sebelum ia berjalan memutari depan mobil menuju tempat duduk di sebelahku.

Aku berharap bisa menciptakan perisai kuat untuk mempertahankan hatiku agar tidak goyah selama berada di Jogja. Apalagi menyadari perhatian mas Pijar yang begitu manis. Dan dia cinta pertamaku. Aku takkan lupa itu.

Bersambung

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang