Salah Menilai

202 13 0
                                    

Tinggal beberapa bab lagi  tamat, yak!

Selamat membaca!


___


Meski dengan mata yang ngantuk berat, Alifa masih tergoda ingin main dengan Rian, Leli dan Dea. Aku segera menggendongnya ke kamar. Begitu badanku menyentuh kasur dan berbaring, nggak terasa aku ikut tertidur pulas di samping Alifa.

Saat terbangun jam di dinding kamar menunjukkan pukul sepuluh lewat beberapa menit. Ayah dan ibu belum tidur. Ke mana mereka? Mungkin masih ngobrol di ruang tengah. Meski sama-sama tinggal di Jakarta, Ibu dan saudara-saudara ibu jarang ketemu. Mereka punya kesibukan masing-masing. Jadi begitu ada kesempatan bertemu, yang mereka lakukan hanya ngobrol dan ngobrol.

Kuambil handphone yang sejak sore tak sempat kusentuh. Begitu kubuka ada ratusan pesan yang masuk dari grup sekolah maupun teman kampus. Ada juga pesan dari Mita yang menanyakan gimana liburanku. Dan terakhir kulihat berpuluh panggilan I am. Aku mencoba menghubunginya, tapi ia tidak menjawab. Bisa ditebak pasti ngambek dia.

Aku pergi ke ruang makan untuk mengambil minum. Saat melewati kamar mas Pijar yang ada di seberang kamarku, kulihat pintunya tidak tertutup rapat. Ada suara orang sedang bicara di dalam kamar. Aku meneruskan langkah tanpa berpikir apa-apa.

Saat kembali dari mengambil air di ruang makan, aku kembali melewati kamar mas Pijar. Kuperhatikan celah pintu hingga suara-suara dari dalam sana menerobos hingga ke luar kamar. Setelah kuperhatikan dengan benar, aku mengenali suara mas Pijar entah dengan siapa. Mendadak aku berhenti melangkah ketika perbincangan itu kini jelas tertangkap di pendengaranku. Kakiku juga bagai terpaku di lantai. Tak mau mengarah ke kamarku yang hanya berjarak beberapa langkah saja.

"Aku dan Ai saling mencintai."

Mas Pijar? Darahku seakan tersirap mendengar dengan jelas ucapan mas Pijar.

"Pijar, kamu lupa kalau Ai itu adik kamu?" tukas ibu memarahinya sekaligus mengingatkannya.

"Adik dari mana?" mas Pijar langsung membantah. "Aku tahu dari mana Ai berasal. Yang pasti bukan dari rahim bulik. Karena itu kami nggak ada hubungan darah. Kami bukan mahram. Karena itu pula kami boleh menikah."

"Tapi Ai sudah punya pacar, Jar," ayah menukas dengan pelan dan sabar.

"Tapi aku orang yang dicintai Ai sejak dulu, Om. Aku juga sejak dulu menyayangi Ai. Tapi eyang dan mama memaksaku bertunangan dengan Alya. Om, Bulik, tolong ijinkan aku melamar Ai di hadapan eyang dan semua anggota keluarga besar kita. Mumpung kita semua bertemu dan berkumpuldi sini. Aku tahu aku bukan orang suci. Aku kotor, rusak, juga brengsek. Tapi sejauh ini aku sudah berusaha berubah menjadi orang baik. Aku bersumpah akan membahagiakan Ai."

Sekujur tubuhku kini bergetar mendengar ungkapan mas Pijar yang penuh permohonan dan kesungguhan itu. Tak bisa kubayangkan aku berada di dalam kamar mas Pijar dan mendengar kata-kata itu di hadapan ayah dan ibu. Suasana rumah eyang besar dan sepi, hingga suara mas Pijar yang sengaja ditahan di tenggorokannya itu terdengar seperti teriakan keras.

Gelas berisi air putih di tangaku kucengkeram dengan kuat. Takut jatuh ke lantai dan pecah hingga mengagetkan semua orang terutama yang ada di kamar mas Pijar. Sekuat tenaga kubawa kakiku yang seolah ada pemberat besi yang diikat di pergelangan kakiku melangkah meninggalkan pembicaraan mengejutkan di dalam sana. Masih ada ucapan-ucapan lain yang hanya samar-samar kudengar. Suara ibu, ayah dan mas Pijar yang bersahutan.

Di kamar aku berusaha menormalkan detak jantungku dengan meneguk air di tanganku sebelum meletakkan gelas di meja. Telingaku masih terngiang suara-suara yang seperti distel berulang-ulang. Tidak bisa kupercaya mas Pijar benar-benar menyampaikan lamaran di hadapan ayah dan ibu. Dia juga akan menikahiku? Aku lalu duduk diam di pinggir tempat tidur dengan hati dan pikiran berkecamuk.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang