Air Mata Alifa

240 11 0
                                    

Begitu sampai di rumah aku tidak menemukan Alifa di kamar atau di ruang tengah. Aku ke dapur menanyakan keberadaan Alifa pada ibu.

"Mana Alifa, Bu?" tanyaku pada ibu.

"Pergi ngaji sama Pijar." Aku kaget ketika mendengar jawaban ibu.

"Mas Pijar? Mas Pijar ke sini lagi?" tanyaku heran.

"I pad nya ketinggalan. Nih, dia bawain gudeg. Pakde Suryo baru pulang dari Jogja bawain kita oleh-oleh gudeg."

Alifa mau berangkat ngaji sama mas Pijar pasti karena diajak berangkat naik mobil. Pantas aku nggak lihat mobil mas Pijar di halaman. Dengan khawatir dan pikiran macam-macam, aku segera menyusul ke masjid. Aku kuwatir pulang dari ngaji Alifa dibawa begitu saja sama mas Pijar.

Sengaja kulewati mas Pijar yang diam di dalam mobil yang terpakir di halaman masjid. Tidak kugubris panggilan lewat klakson yang dibunyikannya. Aku ingin memastikan Alifa benar-benar ada di dalam masjid. Betapa lega setelah melihat anak itu sedang tekun belajar bersama teman-temannya. Ia sore itu mengenakan baju muslim warna pink satu stel dengan kerudungnya. Cantik dan imut.

Perlahan aku mundur, mengingat ibu-ibu dan pengantar semuanya mengenakan kerudung. Malu dan merasa nggak enak aku menyelinap menjauh dari teras masjid. Mau nunggu di mobil mas Pijar? Nggak, ah. Aku langsung menolak ajakan hatiku.

"Ai!"

Betapa kaget aku mendengar panggilan diserati tepukan di lenganku. Saat menoleh, ternyata Peni, teman kecilku yang sedang menunggui ponakannya yang ngaji bareng Alifa.

"Hei, Pen!" pangilku juga.

"Ai, kayaknya beberapa waktu lalu aku lihat cowok mirip I am datang ke sini, deh. Tapi bukannya rumahnya di sini sudah dijual? Dan waktu itu dia pindah ke luar Jawa, kan?" tanyanya langsung dengan muka penasaran.

Aku menahan senyum melihat keheranannya. "Iya, I am emang kuliah di Jakarta sekarang. Dan dia tinggal sama neneknya di daerah Kemayoran."

"Oya? Kamu pernah ketemu dia, Ai?"

"Dia pernah mampir ke rumah." Entah gimana reaksi Peni kalau kukatakan kalau aku jadian sama I am.

"Oh, pantas," sahutnya sambil menatapku curiga. "Aku juga berpikir dia ke sini pasti untuk menemuimu. Dia pasti masih ingat sama kamu. Cinta monyet."

Aku tertawa lucu menanggapi ucapannya.

"Ai, tadi siapa yang nganter si Alifa? Cowok keren, kayaknya mobilnya masih di parkiran, tuh!" kali ini ia berbisik di telingaku sambil matanya menggapai hingga ke pelataran masjid.

"Oh, saudara."

"Kirain cowok kamu."

"Iiihh, apaan, sih? Keponakan ibuku yang di Jagakarsa, Pen," jelasku.

"Dia punya pacar, nggak, Ai?"

"Kenapa? Naksir, ya?"

"Iya," jawabnya sambil terkekeh.

"Nanti aku bilangin," kataku langsung, meski yakin Peni bukan tipe ceweknya mas Pijar.

Tidak lama terdengar suara anak-anak keluar dari masjid dengan suara berisik sambil bercanda dan ada juga yang memanggil-manggil ibunya.

"Mama!" Alifa berseru girang begitu matanya menemukanku. Tangannya mengambil tanganku untuk diciumnya.

"Yuk, pulang!" ajakku sambil mengelus kepalanya dengan lembut. Kulambaikan tanganku pada Peni saat aku menggandeng Alifa meninggalkan masjid.

"Mama, aku mau makan es krim!" katanya sambil sambil setengah berlari mengimbangi langkah panjangku.

"Makan es krim di mana?"

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang