Sejuta Rasa

195 14 0
                                    

Sudah hampir tengah malam. Jam sebelas lewat tiga puluh. Ibu membukakan pintu untukku. Antara ingin minta maaf karena pulang larut malam, dan juga ingin meluapkan perasaanku yang tengah membuncah. Dan begitu ibu kembali menutup pintu, aku peluk ibu dengan erat.

"Ibu, aku jadian sama I am," aku memberitahu ibu dengan perasaan meluap dan sampai tak terasa menitikkan air mata.

"Oh, " kurasakan tangan ibu perlahan-lahan mengusap punggungku. Tak kusangka aku begitu bahagia ketika punya pacar. Dan hubungan kami sudah mendapat restu.

"Maaf, bu, aku pulang sampai larut malam. Tadi I am sebenarnya mau pamit ibu dan ayah, tapi karena sudah malam aku suruh dia langsung pulang."

"Yang penting kamu sudah pulang ke rumah."

Ibu sungguh memaklumi sambil lengannya merangkulku saat kami masuk ke dalam.

Tapi begitu sampai di kamar ibu tidak langsung membiarkanku sendiri. Padahal aku ingin berbaring sambil membayangkan saat-saat bersama I am tadi. Handphone yang clentang clenting membunyikan notifikasi pesan masuk tak berani kusentuh ketika kulihat ibu mengambil duduk di kursi. Aku juga mengikuti di duduk pinggir tempat tidur, menghadap ibu.

"Ibu lega. Ibu juga ikut bahagia," kata ibu sambil tersenyum lembut.

Aku ikut tersenyum. Bahkan sempat tersipu. Jari-jariku berjalinan di pangkuan, seperti ingin ikut mengungkap bagaimana perasaanku saat ini.

"Tapi untuk selanjutnya, ibu minta kamu hati-hati ya, Ai. Ibu tahu, ibu paham kalau kamu dan I am masih muda dan sedang jatuh cinta. Ibu tahu bagaimana rasanya. Tapi dalam keadaan tertentu kamu akan dilanda sentimen yang akan membuatmu hatimu sensitif. Gampang marah, gampang sedih, gampang girang. Pakai selalu logika, akal sehat dan juga pikiran yang jernih. Kalau kamu hanya mengandalkan hati dan perasaan, kamu nggak akan punya tujuan yang jelas dalam hidup kamu. Pacaran itu nggak beda dengan berteman. Hanya beda intensitas pertemuan kalian yang lebih sering, sambil mengenal lebih dalam sifat dari kalian masing-masing. Perhatikan pagar-pagar etika dan aturan yang berlaku di masyarakat karena kamu nggak hidup di hutan. Bergaul dengan wajar sebagaimana kamu bergaul dengan teman-teman kuliahmu. Jangan melewati batas. Ibu hanya pesan itu saja."

"Ya, Bu," sahutku mengiyakan nasehat ibu yang langsung membuat batasan tegas padaku.

Setelah ibu keluar kamar, aku merebah sambil tak sabar membuka handphone. Kulihat pesan-pesan beruntun dari I am.

"Ai, aku sudah sampai rumah dengan selamat."

"Apa kamu di marahi ayah dan ibumu karena pulang malam?"

"Ai, kenapa kamu nggak balas pesanku?"

"Jangan bilang ayah dan ibumu marah dan kamu nggak boleh ketemu aku lagi."

"Apa aku perlu ke rumahmu sekarang? Aku yang salah. Aku yang mengajakmu pergi sampai malam. Seharusnya tadi aku nggak langsung pulang. Seharusnya tadi aku menemui ayah dan ibumu sebelum pulang. Maaf, Ai!"

Aku tersenyum geli membaca pesan-pesannya. Lihat, di balik sifat selengekannya, dia juga masih punya etika dan merasa bersalah pada ayah dan ibu.

Segera kubalas pesannya biar dia nggak khawatir, " Nggak, Am, aku nggak dimarahin kok."

Tanpa kuduga, begitu menerima pesan, I am langsung menelpon.

"Halo!"

"Halo Ai, kamu bener nggak dimarahin ibu?"

"Enggak."

"Syukurlah," ucapnya dengan nada lega.

"Tadi begitu sampai rumah aku ngobrol sama ibu," kataku. "Aku ngasih tahu ibu kalau kita jadian."

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang