Dua Papa

235 13 0
                                    

Saat perjalanan pulang, I am menelpon. Aku segera menjawab panggilannya seraya menempelkan benda pipih itu ke telingaku.

"Ai, aku mau ke Depok sekarang," katanya memberitahuku.

"Katanya besok?"

"Masalahnya besok ada jadwal kuliah pagi-pagi. Dari pada besok terburu-buru mendingan sekarang aja."

"Naik apa? Kakimu bukannya masih sakit, Am?"

"Naik taksi. Nggak apa-apa. Sudah nggak begitu sakit. Aku jalan pelan-pelan aja."

"Papa I am!" seru Alifa nyaring memanggilnya.

"Alifa! Kamu lagi ngapain?"seru I am pula di seberang dengan nada rindu.

"Aku tadi jalan-jalan, terus makan es krim."

Seketika kubungkam mulutnya agar tidak meneruskan kata-katanya. Bisa ngambek lagi dia kalau tahu aku, kami bertiga pergi jalan-jalan dan makan.

"Hati-hati, ya, Am!" pesanku.

"Kamu lagi sama Alifa?"

"Iya."

"Tadinya aku mau mampir ke rumahmu," katanya.

Aku terkesiap, nggak bisa membayangkan kalau dia benar-benar ke rumah dan mendengar dari ibu kalau aku pergi sama Alifa dan mas Pijar. Dia paling sensitif kalau berhubungan dengan sesuatu yang berbau mas Pijar. Mendengar namanya, apalagi melihat sosoknya bisa membuat dia kesel nggak keruan.

"Tapi nggak jadi. Sama nenek suruh langsung ke Depok."

"Oh, ya udah. Baik-baik kamu di Depok, ya, Am. Hati-hati. Jaga kesehatan. Kamu, kan sendirian di sana?" pesanku dengan serius.

"Iya, iya. Udah ya Ai, aku udah mau sampai, nih. Tunggu aku. Sabtu nanti aku pulang."

"Heem."

Aku menutup percakapan dan menyimpan handphone di kantong bajuku. Kulirik mas Pijar dengan wajah datar sambil matanya menatap ke jalanan. Dia pasti mendengar seluruh percakapanku dengan I am. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

"Tadi temenku yang di masjid nanyain kamu, Mas. Naksir kamu, katanya,"kataku membuka percakapan.

Sudah kuduga, mas Pijar tidak menggubris ucapanku. Dia diam dan bungkam seperti tak mendengar ucapan apa-apa dariku. Aku menyetop mempromosikan Peni pada mas Pijar, begitu tidak terlihat ia merespon.

Begitu sampai di rumah, Alifa langsung berteriak girang seraya memamerkan dengan heboh balon dengan lampu kelap-kelip di dalamnya yang dibelikan mas Pijar di jalan tadi. Ayah dan ibu ikut takjub sambil memandangi balon itu sambil sebentar mematikan lampu kelap-kelipnya, lalu menyalakannya lagi. Benar-benar perhatian mas Pijar sesore itu melekat erat di lubuk hati Alifa. Ia benar-benar terpikat, ia benar-benar terjerat sebagaimana aku.

"Kamu mau nginep sini?" tanya ibu pada mas Pijar.

"Enggak, Bulik. Pulang."

"Pulang ke mana?" tanya ibu.

"Bintaro," ke apartemennya. Ia menjawab sambil menghindari pandangan ibu.

"Kenapa nggak ke Jagakarsa saja? Di sana ada saudaramu, ada papa dan mamamu."

"Enggak," ia bersikukuh dengan kepala menggeleng.

"Lagian apa enaknya hidup sendiran."

"Om papa mau pulang?" tanya Alifa.

Mas Pijar mengangguk sambil menatap penuh sayang pada Alifa. "Papa besok ada rapat pagi-pagi. Kapan-kapan papa akan nginep di sini."

"Nanti jalan-jalan lagi ya, Pa?"

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang