Ayah dan Anak

210 17 0
                                    

Yuk Follow dulu! Dan jangan lupa kasih vote dan komentar, yaa ...

Selamat membaca bab 31!


-----------


Lolos dari macet saat keluar dari tempat parkir, mobil kembali berjalan melambat saat kembali menemui kepadatan di sebuah perempatan jalan. Sambil menunggu jalanan lancar, mas Pijar mengatur suhu AC mobil mengingat teriknya cuaca di jalanan. Setelah dirasa suhu cukup sejuk, ia menoleh pada Alifa yang terlelap di pangkuanku.

"Alifa," panggilnya lembut sengaja mengusiknya dengan menyentuh pipinya dan juga lengannya dengan perasaan sayang dan rindu. Namun Alifa tak bergeming. Makin mendengkur oleh belaian AC di dekatnya.

"Kamu ini tadi dari kantor, Mas?" tanyaku melihat setelan yang dikenakannya. Sempat kulihat tadi sebuah jas yang terlempar di jok belakang.

"Heem," ia mengangguk tanpa menoleh ke arahku. Perhatiannya lurus ke depan bersiap-kalau-kalau jalanan sudah lancar. Namun kendaraan di depan yang tak juga bergerak,

Kupegang jemari Alifa dan kubandingkan kuku-kukunya dengan milik mas Pijar. Mirip. Aku begitu yakin kini dan tak mengingkari hal itu lagi setelah kembali memperhatikan hidung, jidat dan bibir Alifa sambil diam-diam mengerling ke arah sosok di sampingku. Benar-benar mirip. Mereka memang ayah dan anak. Desahku.

"Ai, " panggil mas Pijar tiba-tiba mengagetkanku.

Aku terhenyak. "Apa?"

"Aku mau minta maaf."

Aku diam dan berpikir. "Kenapa?" tanyaku nggak tahu kenapa dia minta maaf.

"Karena aku sudah membaca buku harianmu."

Nafasku mendadak sesak. Dan aku berusaha melonggarkannya dengan helaan panjang dan menghembuskannya dengan cepat. "Nggak tahu aku bisa memaafkanmu atau tidak." Entah. Sepertinya aku masih ingin dendam. Padahal apa susahnya menjawab ya, atau aku sudah memaafkanmu?

"Nanti sampai di rumah aku akan berlutut."

Mataku sedikit melebar saat diam-diam membayangkan dia benar-benar berlutut di hadapanku untuk menyampaikan permintaan maafnya.

"Aku tahu kamu marah karena aku jadi tahu apa yang terjadi dengan hatimu yang sebenarnya." Mas Pijar menoleh padaku sekilas dan tersenyum tipis. Aku tahu dia tidak bener-benar menyesal dengan apa yang diperbuatnya.

"Sejujurnya aku malu," sahutku mengakui. Aku menyukainya begitu rupa sejak dulu. Dan aku selalu menyimpan rapat perasaanku terhadapanya selama bertahun-tahun. Tapi mas Pijar sekarang sudah tahu semua hal tentang aku, tentang perasaanku yang pernah mengaguminya, mengharapkannya, dan mencintainya. Aku sungguh tak ingin mengingat semua itu dan saat ini aku ingin meyakinkan mas Pijar bahwa aku sudah tak berharap padanya. Karena sudah ada I am di hatiku.

Beberapa menit kemudian perjalanan begitu lancar. Cuaca sore kota Jogja begitu cerah dan terik. Bisa dibayangkan berada di luar sana. Pasti sebentar saja matahari sudah terasa membakar kulit dan membuat badan basah berkeringat.

Beberapa tahun aku tidak hadir ke acara keluarga besar ibu di rumah eyang, ada beberapa tempat kulihat sudah banyak yang berubah. Pertokoan, rumah-rumah, dan tanah kosong pas arah belokan menuju rumah eyang sekarang sudah menjelma menjadi bangunan kantor. Meski hatiku sempat ciut mengenang sikap eyang kakung-eyang putri yang tidak perhatian padaku, namun aku merindukan saudara-saudara sepupuku saat berkumpul dan bercanda di beranda belakang rumah eyang yang luas dan asri.

Tiba-tiba aku merasa mobil terhenti padahal belum sampai tujuan akhir. Apa mobilnya mogok? Apa aku harus jalan kaki sampai rumah eyang yang masih sekitar dua ratus atau tiga ratus meter itu? Dengan menggendong Alifa pula? Ah, aku nggak mau. Mana aku kuat? Aku mengeluh sambil menoleh ke sopir yang rupanya sengaja menghentikan mobil. Entah apa yang akan dia lakukan di pinggir jalan begini.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang