Awan dan Udara

175 18 0
                                    

Yukk, FOLLOW  biar nggak ketingggalan ceritaku!

Minta kesediaan untuk kasih vote dan komentar biar ramai dan penulis makin semangat nulis lanjutan ceritanya.

                                                 

___


Kuambil kotak di atas tempat tidur, lalu kukeluarkan handphone di dalamnya. Begitu selesai memasukkan kartu ke dalam handphone yang baru lalu kunyalakan, handphone tiba-tiba langsung bergetar dan berbunyi nyaring. Mas Pijar? Hatiku sampai ikut bergetar. Namun setelah kuperhatikan muncul perasaan lain yang menghangat dan mengalir di dadaku. Bibirku tersenyum ketika menemukan nama I am di layar.

"Assalamu'alaikum!" sapaku segera.

"Wa'alaikum salam. Ai, aku telpon kamu dari tadi kenapa nggak diangkat?" jawabnya dan langsung mengajukan pertanyaan itu.

Aku sempat tercengang mendengar nada suaranya yang terdengar kesal. "Oh, kamu tadi telpon?" tanyaku balik. "Sori, Am. Tadi handphone-ku ketinggalan di rumah," buru-buru aku minta maaf.

"Emang kamu ke mana tadi?"

"Tadi aku, ayah, ibu, Alifa diajak makan-makan di restoran sama mas Pijar," ceritaku

"Mas Pijar?" ia seperti nggak suka mendengar nama itu.

"Iya, Alifa ulang tahun.Trus mas Pijar ngajak kami merayakan di restoran," jelasku.

I am terdiam. Lama tidak terdengar menyahut. Aku berpikir ceritaku tentang kehadiran mas Pijar di rumah telah membuat suasana hatinya tiba-tiba kelam dan berkabut. Tapi aku nggak ingin hal itu lama berlangsung.

"Kok kamu diam?" Aku pura-pura tidak memahami apa yang terjadi dengan hatinya.

"Mas Pijar sering datang ke rumah, Ai?" ia mulai menyuarakan kecurigaannya.

"Enggak," jawabku langsung. "Kalau emang datang trus kenapa? Dan dia menganggap ibu seperti ibunya juga. Wajar kalau dia kemari menengok ibu karena merasa berhutang budi dulu pernah dirawat bertahun-tahun sama ibu."

"Dia nggak cuma menengok ibu, dia juga mengunjungi kamu" tuduhnya.

Aku mendengar suaranya yang makin tak enak didengar. Apa-apaan, sih, I am? "Aku sudah bilang, dia tidak menyukaiku. Dia hanya menganggapku adik."

"Mosok, sih?" sahutnya meragunaku kali ini.

"Am," panggilku.

"Hemm," sahutnya berat. Enggan. Malas.

"Kamu cemburu sama mas Pijar?" tanyaku ingin menguak isi hatinya.

"Aku lihat bagaimana wajahnya saat ketemu waktu itu. Dari tatapannya kayaknya dia nggak suka lihat kamu deket-deket aku?"

"Jangan mikir yang enggak-enggak, Am. Itu hanya perasaanmu saja," sahutku.

"Kalau benar begitu gimana?"

"Enggaklah!" bantahku meski dia takkan percaya.

"Ai, apa kamu masih menyukainya?" tanyanya dengan serius.

"Ah, I am. Kenapa kamu nanya kayak gitu, sih? Aku, kan pacar kamu? Tentu aku hanya menyukai kamu. Mana mungkin aku menyukai cowok lain?" sahutku berusaha meyakinkannya.

"Ya udah, aku percaya sama kamu."

"Trus ngapain kamu telpon malam-malam?"

"Emang nggak boleh telpon malam-malam? Aku telpon kamu dari sore, tahu, nggak? Tapi kamu nggak angkat. Kamu tahu gimana perasaanku?" Lhah, suaranya kenapa kembali meninggi? Aku jadi serba salah.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang