Papa I am

235 12 0
                                    

Sabtu sebelum pulang, I am menelpon dan kembali mau mengajakku ke monas. Aku sih, nggak keberatan. Tapi, aku ingin mengajak Alifa. Tak kusangka ketika aku mengutarakan keinginanku itu Iam sama sekali nggak keberatan.

"Bener kamu nggak keberatan kalau kita bawa Alifa?" tanyaku.

"Enggak. Emang kenapa?" sahutnya ringan sambil balik bertanya.

"Kamu tidak merasa terganggu?"

"Sama Alifa? Enggak."

"Serius?" aku meyakinkannya.

"Iya. Serius."

"Ya udah!" aku begitu lega dan bersorak dalam hati.

Aku akan siapkan bekal makanan sebanyak mungkin untuk kami bertiga. Tak bisa kubayangkan betapa senangnya Alifa saat di monas nanti. Dia akan bebas berlarian dan ia juga akan bertemu dengan rusa dan memberi makan binatang yang mirip kancil itu.

"Sekarang bobok, ya? Besok kan mau jalan-jalan?" suruhku seraya membawanya ke tempat tidur. Dan dia nurut banget kali ini. Begitu berbaring, ia memejamkan matanya sambil memegang tanganku.

"Pergi ke Monas sama I am, ya Ma?" ia kembali membuka mata.

"Om I am," aku meralat panggilannya. "Üdah, cepetan bobok!"

"Om I am," ia menggumam lirih dengan matanya rapat terpejam seperti orang ngelindur.

Tak lama setelah dia terlelap aku menemui I am di ruang tamu. Begitu melihatku dia menepuk-nepuk tempat duduk di dekatnya. Aku enggan menuruti. Nggak enak sama ayah dan ibu. Tapi I am segera meraih tanganku dan mendudukkannya tepat di sebelahnya.

"Kita, kan lagi pacaran? Kenapa mesti duduknya jauh-jauhan, sih?" katanya dengan setengah menggerutu.

Aku menurutinya duduk di sebelahnya. "Trus, kalau duduk dekat-dekat mau ngapain coba?" tanyaku pengen tahu.

"Mau ngomong bisik-bisik sambil pegang tangan kamu," jawabnya sok romantis.

"Ihh! Emang harus kayak gitu?"

"Iya, lah."

Geli mendengar ucapannya. "Äm, kamu pacaran sudah berapa kali?" tanyaku.

"Dua kali."

"Perkiraanku, sih, lebih dari dua kali."

"Waktu SD dan sekarang."

Aku berpikir dan cepat memahami maksud kata-katanya. "Bohong!" tawaku spontan mendorongnya ke samping.

"Dulu, waktu SD kamu adalah pacarku. Aku umumkan semua orang kalau kamu adalah milikku. Bahkan Rafa aja nggak berani lagi deketin kamu. Kamu ingat itu, kan? Dan sekarang, kamu juga pacarku. Pokoknya kalau ada yang coba-coba deketin kamu, aku nggak akan diam."

Aku mengerling dan merasakan kesungguhan dari ucapannya. Kubiarkan dia menggenggam tanganku.

"Am," panggilku lagi. "Kamu sungguh nggak keberatan kalau Alifa berada di antara kita?"

Terdengar hela nafasnya. Mendengar helaan nafasnya yang berat, aku khawatir jika harus menghadapi kenyataan harus memilih antara I am atau Alifa.

"Kan aku sudah bilang, Ai, aku nggak keberatan. Aku tahu kamu nggak bisa berpisah dengan Alifa. Karena itu aku nggak keberatan kalaupun kita kencan harus membawa serta dia bersama kita. Bahkan kalau kita menikah nanti."

"Emang kita akan menikah, Am?"

"Maksudmu? Kamu sekarang pacaran denganku dan nantinya akan menikah dengan orang lain? Gitu?" sergahnya kurasa dengan mata melotot marah.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang