Gempa Melanda

309 31 0
                                    

Ibu benar-benar kewalahan menghadapi Alifa saat aku pergi. Makan sedikit, tidur sebentar. Sudah sore nggak mau mandi pula. Katanya maunya mandi sama aku. Begitu datang, aku langsung melucuti bajunya dan membawanya ke kamar mandi. Mandipun pakai nangis. Karena ngantuk, aku kira. Juga kurang kenyang karena kata ibu makanya tadi cuma sedikit.

Setelah kudandani dengan cantik kududukkan dia di kursi makannya dan kusuapi. Tapi ia banyak alasan nggak mau makan. Aku perhatikan matanya sudah sayu. Ngantuk berat. Kugendong dia dengan kain gendongan sambil kusuapkan sisa makannya hingga habis. Saat kusodorkan gelas susu, ia sudah teler. Matanya rapat terpejam. Dengkur halusnya menunjukkan betapa lelahnya dia setelah main seharian.

Habis mandi kusisir rambutku, kupoles tipis wajahku dngan bedak, juga kupulas bibirku yang kering dengan lip balm. Aku sempat khawatir kalau-kalau mas Pijar membahas apa yang aku dan I am di depan tadi di hadapan ayah dan ibu. Ah, lagian aku sama I am nggak ngapa-ngapain. Ujar hatiku menenangkan pikiranku.

Akhirnya aku keluar kamar untuk menyiapkan makan malam. Selama makan aku hanya diam. Biasanya juga begitu. Mas Pijar nggak pernah bicara atau menanyakan sesuatu padaku kalau nggak penting banget. Aku juga sungkan kalau mau menimbrung, apalagi menyela pembicaraan mereka bertiga. Akhirnya aku makan dalam diam.

"Kok ibu tadi nggak lihat I am masuk, Ai?" tanya ibu seraya mengalihkan obrolan.

"Tadi langsung pulang," jawabku tanpa mengangkat wajah.

"Emang tadi I am ke sini?" tanya ayah pula menambahi pertanyaan ibu tentang I am.

"Iya. Tadi pergi sama Ai ke Gramedia," sahut ibu.

Aku diam-diam dan pelan-pelan mengunyah makananku, seakan tak ingin membuat keruh keadaan meja makan yang tenang, aman dan damai. Sekecap saja mas Pijar mengungkap apa yang dilihatnya di luar tadi, maka heboh pasti ruang makan.

"I am itu teman Ai waktu kecil, dulu tinggal di belakang rumah. Bapaknya tentara dan pindah ke Batam. Tapi ternyata dia sekarang kuliah di UI. Anaknya baik, sopan, dan ramah," ujar ibu sambil memuji-muji anak itu di hadapan mas Pijar.

"Alifa aja begitu ketemu anak itu langsung akrab," timpal ayah.

"Trus dia tinggal di mana sekarang?" tanya mas Pijar.

"Tinggal sama neneknya, sih, di ... di mana, Ai?"

"Kemayoran," jawabku sambil sekilas melirik cowok yang duduk di sebelah kiriku. Dia nampak mengangkat gelas dan meneguk isinya perlahan.

"Jadi kalian tadi pra kencan ceritanya?" celetuk ayah yang duduk di seberangku sengaja menggodaku.

"Ah, ayah, apaan, sih? Aku sama I am kan hanya berteman?" tukasku memprotes.

Ayah hanya terkekeh lihat mulutku cemberut.

Selesai makan obrolan pindah ke ruang tengah. Selesai mencuci piring aku masuk ke kamar membongkar buku-buku yang tadi kubeli dan membiarkan sang ponakan kesayangan sepuasnya ngobrol dan menumpahkan kerinduan pada si bulik. Buku Alifa ada 10 biji. Bagus-bagus gambarnya dan juga menarik ceritanya. Alifa pasti senang melihat gambar-gambarnya.

Kuambil salah satu novelku tadi dan kubuka sambil merebah di tempat tidur. Nampak tulisan I am. Terbayang kejadian saat di toko buku tadi. Aku tersenyum-senyum juga geleng-geleng mengingat kelakuan I am yang bikin geregetan.

Lalu aku terngiang kata-kata konyol yang dilontarkannya saat duduk di rumah makan mpek-mpek tadi.

"Pake, nih!" suruhnya sambil melepas jaketnya.

"Nggak usah. Aku nggak kedinginan, kok," tolakku.

"Buat nutupin baju kamu yang yang tembus pandang, tuh."

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang