Sebesar Cinta I am

205 13 0
                                    

Selesai makan malam rame-rame dengan semua orang di ruang makan lalu ngobrol dan bercanda sebentar di atas deretan sofa panjang di ruang tengah, tak lama kulihat Alifa beberapa kali menguap menahan kantuk. Segera kutarik lengannya dan kubawa dia ke kamar. Dia diam pasrah dalam gendonganku dengan kepala tergolek di pundakku. Di dalam kamar ada ibu dan bude Ningrum, kembaran bude Ningsih yang tinggal di Salatiga. Keduanya langsung minggir ke tepi kasur begitu tahu aku akan menjatuhkan tubuh Alifa ke tengah kasur.

"Udah minum susu?" tanya ibu menghentikan obrolan.

"Nggak mau katanya." Kutatap anak itu dan dia menggeleng menjawab pertanyaan ibu. Matanya terlihat sudah sayu, kayak lampu 5 watt. "Sudah kenyang, kan? Tadi makannya banyak. Pakai apa?" tanyaku.

"Opor."

"Udah, bobok! Besok main lagi."

Mata ngantuk itu kembali terbuka seiring otaknya yang terbangun saat mengingat seseorang. "Tadi aku main sama mas Rian."

"Trus siapa lagi?"

"Mas Lutfi sama mas Hafiz."

"Yang mbaknya? Mbak siapa namanya?"

"Mbak ... " pikiran lemahnya mencoba berputar malas.

"Mbak Dea, mbakLeli sama mbak Ayu."

"Mbak Dea sama mbak Ayu," ia menirukan.

"Ya udah, bobok! Merem matanya!" suruhku sambil mengusap-usap kepalanya dan menepuk-nepuk pantatnya. Tak lama seperti terbius, iapun terlelap.

"Udah tidur?" suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seraut wajah yang melongok di pintu kamar.

Kami menoleh. Mas Pijar berdiri di luar kamar. Aku mengangguk, merasa sorot matanya tertuju ke arahku. Ibu menjawab dengan menggerakkan tangan seperti menggusah ayam ketika di belakang mas Pijar muncul anak-anak yang ingin melihat Alifa. Tak lama wajah beserta sosok-sosok itu menghilang. Daun pintu kembali tertutup rapat.

"Jadi kalian kapan mau menikah?" terdengar tanya bude Ningrum diikuti jawilan di tungkai kakiku.

Aku kaget dan langsung menoleh.

"Siapa yang mau nikah? Ai?" sahut ibu juga tercengang dan langsung membantah dengan belalak matanya.

"Katanya mau menikah sama Pijar?"

"Siapa yang bilang, Bude?" serobotku heran, ikut membantah dengan risih.

"Anak-anak tadi pada cerita waktu kamu pulang dijemput Pijar. Katanya kalian pacaran."

"Ai sudah punya pacar di Jakarta. Mereka sama-sama masih kuliah. Dan mereka berteman sejak kecil.," jelas ibu langsung mengalihkan gosip yang tengah beredar.

"Tapi Ai merawat anaknya Pijar."

"Trus kenapa? Ya hanya ngrawat anaknya aja. Mosok iya trus harus nikah sama ayahnya?"

"Trus, gimana to ceritanya tentang tunangan Pijar? Punya anak tapi malah ditinggal ke luar negeri?"

"Nggak tahu, lah, anak-anak jaman sekarang pada nggak pake aturan kalau bergaul. Pijar waktu itu bilang sama aku, dia ngadu kalau sebenarnya nggak suka sama perempuan itu. Tapi dipaksa sama ibu dan mbak Rumi."

Aku terpekur mendengar percakapan keduanya sambil memeluk Alifa. Jadi mas Pijar sebenarnya terpaksa menerima pertunangan dengan Alia? Begitu mereka akhirnya bertunangan, mas Alia malah pergi. Dan dia meninggalkan anak lagi. Kasihan mas Pijar. Batinku.

"Mbak Ai!" seruan tertahan kembali terdengar di pintu yang telah terbuka lebar itu. Kali ini Dea melambai-lambai memanggiku, menyuruhku keluar kamar. Setelah kulihat Alifa benar-benar tertidur pulas, aku bangkit dari kasur.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang