Debur Ombak

173 9 0
                                    

Meski panas masih terasa menyengat kulit, orang-orang yang bertebaran di pinggir laut tak perduli. Aku yang tak berniat menceburkan diri ke laut memilih tempat adem di bawah naungan pepohonan. Perhatianku terhalang. Kulihat mas Pijar sudah berjongkok di depanku dan kedua tangannya terangkat di sisi kiri kanan kepalaku. Sebelum aku menyadari apapun, aku merasakan pemandangan menyilaukan di depan sana berubah gelap dan adem. Sebuah kaca mata terpasang di atas hidungku, melindungi mataku dari terik matahari.

"Makasih, Mas," senyumku senang sembari tanganku membetulakan posisi kaca mata yang kurang pas. Mataku tak lagi lelah memaksa menahan sinar serta dahiku juga berhenti mengerut. Mataku kini leluasa menatap ke segala arah dengan nyaman.

"Dari tadi aku lihat mata kamu menyipit dan dahi kamu berlipat-lipat begitu. Aku ingat di mobil ada satu lagi kaca mata hitam."

Entah kapan ia pergi ke mobil mengambil kaca mata.

"Alifa kamu bawain baju ganti, kan, Ai?" tanya mas Pijar kemudian.

Aku mengangguk. "Aku tahu pasti dia akan basah-basahan. Makanya aku bawain sekalian peralatan mandi dan pakaian ganti."

"Sudah nggak sakit perut kamu, kan?" tanyanya lagi sambil kembali menghempaskan pantatnya di sampingku.

"Alhamdulillah, udah nggak sakit."

"Syukurlah!"

"Makasih sudah membawaku ke dokter, Mas," aku lupa belum bilang makasih sejak pulang dari dokter tadi pagi.

"Coba kalau tadi pagi kamu ngeyel nggak mau ke dokter, kamu nggak bisa ikut ke sini," sahut Mas Pijar mengerling ke arahku

"Iya, " sahutku mengangguk mengiyakan.

"Lihat, Alifa seneng banget mainan pasir!" sahut mas Pijar kini fokus memperhatikan Alifa.

Perhatianku ikut terarah pada sosok kecil mungil dengan wajah bahagianya. Melihat Ayu, Leli, Dea, Lutfi dan Hafiz lama-lama timbul keinginanku untuk nyebur ke laut seperti yang mereka. Sayang aku sedang halangan.

"Kamu nggak ingin mainan pasir atau lari-larian di air?" tanya mas Pijar mungkin melihat keinginan yang tersirat di wajahku yang tak henti menatap laut dan orang-orang yang bersuka cita dan sengaja menyongsong ombak di kaki mereka.

"Pengen, sih! Tapi aku takut basah. Nggak bawa baju ganti," alasanku.

"Kirain takut kulitnya pada gosong begitu sampai di rumah?"

"Kamu aja sana!" suruhku.

"Ninggalin kamu sendiri di sini? Nggak, ah, nanti kamu digondol wewe gombel."

"Apaan sih? Siang bolong mana ada wewe gombel?" tawa geliku.

Tapi tak lama aku akhirnya bangkit mengikutinya. Mas Pijar seperti menggiringku berjalan merapat hingga ke garis pantai. Begitu ombak datang dia sengaja menghalangiku dan tak memberiku tempat untuk menghindar. Akhirnya aku menabrakkan tubuhku ke arahnya agar kami terdorong ke samping untuk menghindari ombak yang ternyata datang lebih besar dari sebelumnya. Tubuh tinggi, kuat dengan berotot itu tak bergeming. Dari tawa lebarnya aku tangkap niat dia yang ingin membuatku basah-basahan. Air laut sudah mencapai celana jins hingga di bagian lututku. Saat ombak itu kembali ke laut lepas dan membawa serta pasir di bawah kakiku, aku merasa kakiku seolah tersedot. Tubuhku limbung kehilangan keseimbangan. Tak ada pilihan bagiku selain berpegangan lengan di sampingku. Tapi lengan yang akan kubuat pegangan itu menghilang. Mas Pijar juga berusaha meraihku agar tidak melayang dan jatuh tercebur seraya menggamit pundakku dan menghalau ke arahnya. Aku yang ngeri akan rubuh ke samping mendapatkan pinggangnya untuk berpegangan. Aku yakin orang akan mengira kami layaknya orang yang sedang bermesraan saat lengan kami saling berangkulan dengan erat. Padahal kami hanya berjuang agar tidak jatuh ke air.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang