Yang Hilang, Yang Datang

440 20 0
                                    

Aku sudah bisa menduga bagaimana reaksi mas Pijar saat mendengar jawabanku atas lamarannya. Selesai dia menghadiri sebuah rapat di kantor, ia pulang dan mengajakku membeli cincin. Aku menolak dengan halus ajakan itu. Namun sehalus apapun ucapanku, tetap saja membuat mas Pijar berkerut dahinya dan wajahnya menunjukkan rasa heran dan tidak terima.

"Apa bulik yang menyuruhmu?" wajahnya berubah dingin.

Aku menggeleng. "Aku sudah punya I am. Aku sudah berjanji akan setia padanya."

"Aku tidak yakin kamu menyukainya lebih dari kamu menyukaiku."

"Aku merasa begitu aku memilihmu, sampai kapanpun aku akan terus merasa bersalah pada I am karena aku telah menghianatinya."

"Omong kosong. Aku nggak percaya alasan seperti itu. Saat kamu bersama I am, kamu juga akan akan menyesal."

"Setidaknya aku tidak pernah berjanji apapun padamu. Maafkan aku kalau aku selama ini menyukaimu. Kurasa aku harus mulai melupakanmu."

"Ai," mas Pijar mengambil tanganku sambil matanya menatapku tajam. "Aku sungguh-sungguh menyukaimu. Aku menahan diriku tidak menyatakan perasaanku karena sikap pengecutku. Tapi aku terlalu takut pada bulik. Aku tahu, aku punya masa lalu yang buruk. Dan bulik juga menjagamu begitu kuat terutama terhadap laki-laki sepertiku. Percayalah, aku nggak mungkin mempermainkanmu. Aku sudah bersumpah di hadapan bulik dan om Hari semalam, kalau aku sudah berubah. Aku juga akan membahagiakanmu, Ai. Bukan semata kamu anaknya, bulik, tapi karena aku sungguh-sungguh ingin hidup bersamamu sampai kapanpun. Aku juga sudah meyakinkan eyang dan mama, kalau mereka tidak perlu memmikirkan asal usulmu. Kamu lain dari cewek-cewek yang pernah kutemui. Kamu begitu berharga. Aku tidak menginginkan cewek manapun selain kamu."

Aku menggeleng lebih keras agar tidak tergiur dengan segala apa yang diucapkannya. "Tidak, Mas, ada banyak cewek yang baik di luar sana. Mereka jauh lebih pantas mendampingimu."

"Tidak, Ai. Aku hanya ingin kamu."

"Aku tidak bisa, Mas. Maaf." Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya, sebelum kemudian pergi meninggalkannya.

"Ai!"

Aku tidak mendengarkan panggilannya dan terus melangkah.

"Ai, tunggu!"

Aku tetap saja tak memperdulikannya.

"Kalau kamu tidak bisa hidup bersamaku, aku mau kamu tinggalkan Alifa!"

Langkahku mandek seketika. Aku menoleh mendengar kata-kata yang berupa ultimatum itu.

"Biarkan dia tinggal bersamaku."

"Tidak. Kamu sudah membuangnya."

"Aku menitipkannya pada bulik. Kamu ingat itu, kan?"

"Kamu nggak boleh mengambil Alifa dariku, Mas. Aku sudah merawatnya sejak bayi. Dia sudah seperti anakku."

"Dia anakku. Aku melarangmu untuk membawanya ke Jakarta. Ingat!"

Setelah itu mas Pijar beranjak dari tempatnya. Langkahnya keras melewatiku dan tanpa memperdulikan hatiku yang gelisah dia pergi ke arah dalam ruangan.

*

"I am, aku mau pulang ke Jakarta."

Aku menulis pesan dengan dada seperti akan meledak. Betapa ingin aku berteriak keras saat ini untuk meluapkan kerinduanku. Tapi I am tak juga membalas. Dia juga nggak membaca pesanku. Aku benar-benar kesal dan geregetan karena belum juga bisa menghubunginya sampai saat ini. Ngambeknya sudah sampai level sepuluh. Entah mesti aku apain kalau ketemu nanti.

"Aku berangkat naik kereta. Nih, sekarang mau berangkat ke stasiun. Aku nggak sabar tiba di Jakarta dan ketemu kamu." Tambahku. Meski aku nggak menyertakan kata kangen kuharap dia tahu kalau aku kangen banget padanya.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang