Terpukau, Terpesona

183 11 5
                                    

Sudah ketemu jawabannya! Ai mau aku jodohin sama siapa. Ayo tebak! He he he ... pokoknya ikuti terus ceritanya sampai tamat. Jangan lupa Follow, vote dan komentar, yuk!


_____


"Nih, aku bawa jamu!" kata mas Pijar.

Aku terpaksa menoleh dan melihat nampan berisi dua gelas minuman yang aku tahu isinya kunyit asam dan satunya air teh atau air madu. Di rumah ibu selalu membuat air madu terutama kalau badan lagi nggak fit dan cuaca lagi tidak bersahabat.

"Mbak Ai, kata bulik jamunya harus diminum sampai habis!" seru seseorang yang hanya melongok di pintu kamar. Suara Dea. Selesai ngomong dia langsung menghilang.

"Emang ibu ke mana?" tanyaku pelan pada mas Pijar.

"Di belakang, mungkin lagi bikin kopi buat om Hari. Atau lagi bantu mbok Tum bikin sarapan? Di ruang makan Dea bilang kalau kamu sakit trus nyuruh aku membawa minuman ini ke sini."

"Aku nggak apa-apa. Perutku cuma agak mules. Sebentar juga nanti sembuh."

"Bangunlah. Minum jamunya!" suruhnya dengan halus.

"Entar aja. Lagian aku belum mandi, belum gosok gigi," entahlah, hatiku tersentuh dengan bujuk lembutnya.Namun aku berusaha berkelit dari perasaanku.

"Namanya lagi sakit, siapa sih yang perduli dengan aturan mau minum jamu harus mandi dulu, harus gosok gigi dulu?" sergah mas Pijar.

Aku bangun ketika mas Pijar menyodorkan gelas jamu ke arahku. Kuterima gelas di tangannya, lalu kuminum hingga habis, semata agar dia segera keluar dari kamar. Aku merasa tidak enak membayangkan ada ibu, eyang atau bude Rumi tiba-tiba datang dan melihat kami berduaan, meski ada Alifa yang sedang tidur.

"Biar cepet sembuh, Ai. Biar sore bisa pergi ke pantai!" kata mas Pijar meletakkan kembali gelasku di nampan.  Tapi ia tidak juga bergerak pergi.

"Aku nggak ikut ke pantai," kataku.

"Kenapa?"

"Perutku rasanya nggak enak banget."

"Karena itu kamu harus ke dokter, Ai."

"Enggak, ah!" tolakku enggan. "Nanti juga baik sendiri."

"Kamu tiba-tiba sakit perut bukan karena ucapanku tadi malam, kan?" cetusnya menatapku. Masih sempat dia tersenyum menggoda.

Aku tercekat mengingat kejadian tadi malam. "Kuanggap itu hanya mimpi," sahutku dengan sebal dengan mulut mengerucut.

"Itu bukan mimpi." Mas Pijar mengingatkanku. "Tadi malam aku berlutut di hadapanmu seperti janjiku waktu menjemputmu." lanjutnya seperti tanpa beban.

"Aku pacaran dengan I am, Mas," keluhku takut tak mampu membentengi hatiku yang mulai lemah.

"Kalian baru pacaran. Belum resmi menikah. Selama belum ada janur melengkung, masih ada kemungkinan .... "

"Sepulang dari Jogja, I am bilang akan melamarku."

Mas Pijar membuka matanya lebih lebar. Menatapku dengan dongkol seperti merasa dipanas-panasi. "Bagaimana kalau nanti malam aku melamarmu di hadapan semua keluarga?" katanya seperti balasan untuk menakut-nakutiku.

Aku tiba-tiba merasa perutku bagian bawah seakan diremas. Mules dan nyeri. Sambil mengaduh aku memegangi perutku dan berguling di kasur menahan sakit sampai air mataku keluar tak tertahankan.

"Ai, kamu harus ke dokter!" suruh mas Pijar serius dengan khawatir melihatku bergulingan.

Kugelengkan kepalaku sekerasnya menolak ajakannya.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang