Ditembak I am

226 18 2
                                    

"Ai, jadi cowok yang kamu sukai itu mas Pijar?"

Aku tercekat, lalu mau nggak mau akhirnya mengangguk lemah. "Emang kamu kenal mas Pijar?" tanyaku, sebelum mungkin aku menjlentrehkan bagaimana hubunganku yang sebenarnya dengan mas Pijar..

"Laki-laki yang datang saat kita pulang dari Gramedia waktu itu, kan?"

Aku kembali mengangguk.

Beberapa saat kami terdiam, membiarkan angin lewat menghamburkan hawa dingin yang merasuk dalam tubuh. Sementara di kejauhan terdengar suara riuh. Seperti rombongan anak-anak seusiaku yang sengaja datang untuk menikmati suasana malam sambil berkumpul dan bercanda.

"Dulu. Dulu sekali aku pernah dengar mamaku membicarakan seorang bayi laki-laki yang pernah dirawat ibumu. Ibu dari bayi itu meninggal saat melahirkan dan kemudian ibumu merawat bayi malang itu. Dan aku ingat namanya adalah Pijar," cerita I am sambil pandangannya menerawang di kejauhan.

Oh, tak kusangka I am ternyata tahu siapa mas Pijar. Meski mungkin nggak kenal secara langsung.

Tak lama dia melanjutkan, "Tak kusangka aku bertemu dengannya waktu mengantarmu pulang dari Gramedia dulu. Aku baru ngeh kalau cowok yang kamu sukai itu dia. Pantas saja kamu kelihatan gugup dan panik ketika tiba-tiba melihat kedatangannya. Kamu sampai mendorongku dan habis itu kamu masuk rumah tanpa memperdulikanku lagi."

"Tapi dia tidak menyukaiku," sahutku dengan sejujurnya. Rasanya sedih dan malu memaksa mengakui itu di hadapan I am. Tapi dengan begitu aku akan bisa menegaskan pada diriku bahwa aku tak perlu memikirkan dan mengharapkan laki-laki itu lagi. "Seperti yang kamu bilang, aku hanya bertepuk sebelah tangan."

"Tapi dia mengantarmu ke kampus dengan mobilnya?"

"Dia malam itu menginap di rumah, trus paginya mengantarku ke kampus katanya kebetulan ada urusan ke suatu tempat searah dengan kampusku," jelasku pada I am.

"Trus?"

"Ya udah gitu aja. Dia cinta pertamaku, Am. Tapi aku sudah berhenti mengharapkannya. Lelah rasanya. Mungkin selama ini dia hanya menganggapku adik."

"Syukurlah."

Aku menunduk. Nggak perduli, atau ingin bereaksi kalaupun I am meledekku habis-habisan. Aku memang bodoh. Mengharap hal yang tak mungkin. Menggapai hal yang terlalu tinggi melebihi batas kamampuan.

"Ai."

"Hhmm."

"Jadilah pacarku!" cetusnya tiba-tiba meminta. Tak ada nada bercanda. Aku mendengar dia sangat serius mengungkapkannya.

Aku diam mematung. Otakku juga berhenti berpikir rasanya. Hatiku hanya sedikit terjingkat lalu diam pula tak bereaksi lebih selain membujuk otakku agar mengingat kata-kata ayah dan ibu. Tak perlu diragukan, ayah dan ibu tak mungkin salah kalau menginginkan I am jadi pacarku. Menurut mereka, di usiaku sekarang, aku tak bisa mengandalkan diriku dan tak punya cara bagaimana memilih cowok yang baik.

"Jawab sekarang, Ai. Aku nggak bisa menunggu jawabanmu sampai besok atau lusa."

Aku menoleh dengan sebal. "Maksa!" gerutuku.

"Terus apa masalahnya? Karena kita teman dari kecil? Lalu kamu merasa aneh tiba-tiba kita pacaran? Justru lebih bagus kayak gini, Ai. Aku tahu bagaimana latar belakang kehidupanmu. Begitu juga kamu tahu bagaimana keadaanku sejak dulu. Dan kita tidak saling mempermasalahkan latar belakang kehidupan dan keluarga kita masing-masing. Iya, kan?"

Aku tercenung seraya membenarkan pendapat I am. Iya. I am benar. Baik Mas Pijar maupun aku juga tahu keadaan kami masing-masing. Tapi seandainya aku dan mas Pijar menjalin hubungan, sepertinya keluarga mas Pijar yang keberatan menerimaku karena latar belakang kehidupanku.

Sekeping Hati Ai  [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang